Upacara Bekakak di Gunung Gamping sering disebut juga Saparan. Disebut Saparan sebab pelaksanaan upacara tadi harus jatuh atau berkaitan dengan bulan Sapar. Kata Saparan berasal dari kata sapar dan akhiran -an berasal dari upacara selamatan yang diadakan disetiap bulan Sapar. Saparan ini hanya tiruan manusia berujud boneka pengantin dengan posisi duduk bersila yang terbuat dari tepung ketan.
Lokasi
Gunung Kliling dang Gua Gung, Desa Ambar Ketawang, Gamping, Sleman
Pelaksana Kegiatan
Warga masyarakat Gamping
Waktu Pelaksanaan
Jumat setiap bulan Sapar antara tanggal 10-20, jam 14.00 wib
Waktu Pelaksanaan Dukungan
Kamis, sehari sebelumnya
Pencetus Upacara Adat
Sri Sultan Hamengku Buwono I
Maksud Kegiatan Pertama Kali Dilaksanakan
Tujuan upacara ini untuk menghormati arwah Kyai dan Nyai Wirosuto sekeluarga, beliau adalah abdi dalem Penangsang (hamba yang memayungi) Sri Sultan Hamengku Buwono I pembawa payung kebesaran setiap Sri Sultan Hamengku Buwono I berada dan tidak ikut pindah waktu dari Keraton (pesanggrahan) Ambarketawang ke Kraton yang baru. Oleh masyarakat dianggap sebagai cikal bakal penduduk Gamping.
Pemimpin Ritual
Sesepuh Desa
Jalannya Prosesi Upacara
Pelaksanaan upacara saparan Gampin dirinci beberapa tahap yaitu: a. Midodareni Bekakak. b. Kirap c. Nyembelih d. Sugengan Ageng
a. Midodareni Bekakak. Kata Midodareni Bekakak berasal dari bahasa jawa Widodari yang berarti bidadari. Disini terkandung makna bahwa pada malam midodareni para bidadari turun dari surga untuk memberi restu pada pengantin bekakak. Upacara ini berlangsung pada malam hari (Kamis malam) dimulai pada pukul 20.00 WIB, dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang berisi sesaji disertai sepasang suami isteri gendruwo dan wewe, semua diberangkatkan ke balai desa Ambarketawang. Pada malam midodareni ini diadakan malam tirakatan.
b. Kirab pengantin Bekakak. Merupakan pawai / arak-arakan yang membawa jali pengantin bekakak ke tempat penyembelihan, bersama dengan ini diarak pula rangkaian sesaji sugengan ageng. Acara ini berangkat dari Balai desa menuju arah bekas Gunung Ambarketawang tempat penyernbelihan pertama kemudian ke tempat penyembelihan ke dua yaitu gunung Kliling.
c. Nyembelih Pengantin Bekakak. Dilaksanakan di Gua Gung Ambarketawang, sebelumnya dilakukan doa berswma oleh ulama. Selesai pembacaan doa boneka ketan sepasang pengantin dsenibelih dan dipotong-potong dibagikan kepada para pengunjung, demikian pula sesaji yang lain. Arak-arakan kemudian menuju Gunung Keliling untuk mervywnbelih pengantin bekakak yang kedua.
d. Sugengan Ageng. Dilaksanakan di pesanggrahan Ambarketawang dipimpin oleh Ulama dilaksanakan dengan pembacaan doa dan setelah selesai ditandai dengan pelepasan sepasang burung merpati putih selanjutnya dilakukan pembagian sesaji Sugengan Agung.
Pengikut Upacara
Warga masyarakat Gamping
Sesaji/Ubo Rampe
Rangkaian sesaji upacara adat Saparan Bekakak - Dua ekor ayam yang masih hidup ditempatkan dalam setiap Joli. - Piring berisi nasi tumpeng 4 macam yaitu tumpeng wuduk, tumpeng robyong, tumpeng Megono dan tumpeng wejangan. - Sebutir telur rebus. - Sebuah lombok. - Jajan pasar. - Jenang (tujuh macam bubur nasi). - Sebotol jenewer. - Sebotol minyak kelapa dengan pelita di permukaannya (Juplak). - Satu kendi air tawar. - Daging kerbau yang masih mentah. - Seikat benang tenun (lawe). - Sebilah bambu tipis. - Jantera tenun (kisi) dengan beberapa utas benang. - Kemiri. - Sepotong bathok bulus. - Ingkung ayam. - Sebutir telur mentah. - Dua buah kelapa muda. - Sebuah kelapa. - Panjang ilang (pinggan-pinggan kecil ari anyaman janur). - Nasi golong. - Ayam panggang. - Nasi Wuduk. - Dua buah tabu dan kembar mayang yang ditancapkan di depan joli. Dalam perkembangannya dewasa ini tujuan diadakannya Upacara Bekakak ini berubah menjadi Kegiatan Pariwisata.
Desa Ambarketawang, memiliki tradisi khas berupa penyembelihan bekakak, sepasang boneka temanten (pengantin Jawa) muda yang terbuat dari tepung ketan. Tradisi ini dilaksanakan setahun sekali dalam bulan Sapar dalam Kalender Jawa. Tradisi ini terkait dengan tokoh Ki Wirasuta, satu dari tiga bersaudara dengan Ki Wirajamba, dan Ki Wiradana yang merupakan abdi dalem Hamengkubuwana Iyang sangat dikasihi.
Ketika pembangunan Kraton Yogyakarta sedang berlangsung, para abdi dalem tinggal di pesanggrahan Ambarketawang kecuali Ki Wirasuta yang memilih tinggal di sebuah gua di Gunung Gamping. Pada bulan purnama, antara tanggal 10 dan 15, pada hari Jumat, terjadi musibah, Gunung Gamping longsor. Ki Wirasuta dan keluarganya tertimpa longsoran dan dinyatakan hilang karena jasadnya tidak ditemukan. Hilangnya Ki Wirasuta dan keluarganya di Gunung Gamping ini menimbulkan keyakinan pada masyarakat sekitar bahwa jiwa dan arwah Ki Wirasuta tetap ada di Gunung Gamping.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar