Semalam, 25 Oktober 2010 transportasi di Jakarta lumpuh (hampir total) karena hujan deras yang mengakibatkan banjir yang pada akhirnya menyebabkan kemacetan di mana-mana. Perjalanan pulang saya dari Kuningan ke Kelapa Gading yang biasanya hanya memakan waktu satu jam berubah menjadi tiga jam. Beberapa teman di twitter bahkan menghabiskan waktu 5-7 jam di jalan. Pertanyaan apakah hal ini akan kita lalui setiap hari pun muncul di pikiran yang kemudian berakhir pada sumpah serapah di twitter kepada Gubernur Jakarta sekarang, Fauzi Bowo alias Foke.
Foke diminta bertanggung jawab terhadap banjir yang terjadi di Jakarta. Tentunya ia tak dapat lepas tangan. Namun apakah banjir di Jakarta bisa diatasi? Menurut saya tidak dalam jangka pendek atau menengah. Siapapun gubernurnya. Mengapa? Mari coba kita pahami mengapa terjadi banjir yang bukan bencana alam tapi rutin setiap terjadinya hujan yang deras dan lama di Jakarta.
Semua berawal dari ini: Siklus Hidrologi.
Sedikit penjelasan soal Siklus Hidrologi di atas:
Air di laut mengalami evaporasi (penguapan) dibawa awan dan kemudian terjadi presipitasi (turun hujan). Air hujan yang turun mengalami infiltrasi (meresap ke tanah) dan sisanya melimpas di permukaan tanah (surface run off). Air limpasan (surface run off) ini mengalir melalui saluran terbuka dan tertutup (gorong-gorong di bawah jalan), melalui permukaan jalan, dari level tinggi ke rendah, sesuai sifat air. Air yang melimpas di permukaan tanah kemudian mengalir ke sungai (stream flow) terus ke laut. Air yang mengalami infiltrasi, teresap ke bawah tanah menjadi air tanah. Air tanah ini setelah beberapa waktu kemudian juga mengalir ke sungai dan sebagian ke laut. Siklus hidrologi ini kemudian berulang dengan volume air yang kurang lebih sama.
Nah saya akan mencoba menjelaskan dengan bahasa sederhana mengapa banjir terjadi di Jakarta terkait dengan siklus hidrologi ini.
Banjir terjadi karena air limpasan “macet” (jadi bukan hanya macet disebabkan oleh banjir, tetapi banjir pun disebabkan oleh macet ). Macetnya air limpasan terjadi karena kapasitas air limpasan melebihi saluran yang dapat menampungnya dan kecepatan mengalirnya air di saluran tidak lebih cepat dari curah hujan. Dalam istilah teknik ini yang disebut Debit Air. Debit air adalah volume air yang mengalir per satuan waktu, dengan satuannya m3/detik. Macetnya air limpasan bisa terjadi karena debit air hujan > debit air di saluran. Volume air hujan per detik lebih banyak daripada volume air per detik yang dapat dialirkan lewat saluran. Oleh karena itu air meluap dari saluran ke jalan, bahkan bila luapannya terlalu tinggi air akan masuk ke pemukiman. Dan air limpasan ini pada akhirnya mengalir ke sungai. Luapan sungai Ciliwung (untuk kasus Jakarta) sudah pasti mengakibatkan banjir di daerah aliran sungai.
Nah, apakah saluran air kita tidak cukup untuk menampung air hujan? Sistem drainase Jakarta memang perlu dipertanyakan. Apakah sudah tertata dengan baik? Apakah cukup dilakukan perawatan dan pembersihan saluran, gorong-gorong, kali, dan kanal-kanal yang ada? Semua hal itu dapat dilakukan oleh Pemprov DKI, hanya butuh usaha dan dana. Salah satunya dengan membangun Banjir Kanal Timur (diperkirakan selesai akhir 2011) untuk melengkapi Banjir Kanal Barat. BKT memberikan harapan kepada warga bahwa banjir Jakarta dapat diatasi, namun permasalahan utama banjir Jakarta ternyata bukan pada air limpasan.
Masalah utama Jakarta ada pada minimnya resapan air. Limpahan air hujan di Jakarta sekitar 2000 Juta m3/Tahun, yang masuk ke dalam tanah hanya 532 Juta m3/Tahun (26,6%), sisanya menjadi surface run off (air limpasan) 1468 Juta m3/Tahun (73,4%) (data Pemprov DKI). Maka tidak heran bila di musim kemarau kita kekeringan, dan musim hujan kita kebanjiran. Karena jumlah air yang diresap oleh tanah Jakarta dan menjadi air tanah (lihat siklus hidrologi) sangat rendah. Sebagian besar air hujan hanya “numpang” lewat Jakarta.
Pada akhir bulan February 2007 lalu HAGI (Himpunan Ahli Geofisika Indonesia) menyelenggarakan seminar tentang banjir Jakarta dan salah satu pembicara, Atika Lubis, dari Progam Studi Meteorologi Fakultas Ilmu Kebumian, ITB memberikan data berikut: pada saat curah hujan tinggi (seperti tahun 2007) debit banjir maksimum 1.600 M3/det (sisa dari air hujan yang tidak teresap ke dalam tanah), sedangkan kapasitas Banjir Kanal Barat (BKB) hanyalah 300 M3/det. Artinya BKB dan saluran-saluran di Jakarta tidak sanggup menampung air limpasan (tinggi air +/- 1,30 m diatas normal). Dan dengan dibangunnya Banjir Kanal Timur (kapasitas 300 m3/det) pun masih belum cukup mengalirkan (menampung) seluruh limpasan air hujan.
Apa penyebab resapan air minim di Jakarta? Resapan air minim karena air tidak bisa menembus permukaan yang tidak berpori. Air misalnya lebih mudah menembus tanah berbutir kasar dan berpori-pori halus seperti pasir (sand). Air akan sulit menembus lanau (silt) apalagi lempung (clay).
Gambar di samping ini menunjukkan contoh infiltrasi air terhadap permukaan tanah yang berbeda. Bagaimana dengan permukaan beton dan semen? Infiltrasi air untuk permukaan beton dan semen bisa dianggap nol. Air tidak mampu menembus permukaan itu, maka beralihlah ia menjadi air limpasan, mengalir di permukaannya. Tanah di daerah Jakarta Selatan misalnya, kebanyakan batuan dan pasir, infiltrasi air lebih tinggi. Untuk daerah di Jakarta Utara, tanah umumnya terdiri dari lanau dan lempung (apalagi daerah urugan seperti Kelapa Gading) maka infiltrasi airnya rendah. Hal ini menjelaskan kenapa banjir lebih cepat terjadi di daerah Jakarta Utara.
Semakin hari Jakarta akan semakin minim resapan airnya, karena semakin hari semakin banyak pembangunan di Jakarta. Gedung, mall, pemukiman, bahkan jalan-jalan di kampung yang diubah menjadi beton akan mengurangi resapan air. Daerah rawa seperti Kelapa Gading yang tadinya berfungsi sebagai daerah resapan air diubah menjadi pemukiman beton. Karena itu tidak heran banjir di Jakarta makin tahun akan makin parah, karena resapan air makin tahun makin berkurang, dampak negatif dari pembangunan. Memahami hal ini adalah sangat penting sebelum menyusun solusi untuk mengatasi banjir.
Prof Dr Ir Naik Sinukaban, MSc berpendapat banjir di Jakarta terjadi karena penggunaan lahan di kawasan DAS Ciliwung tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah (penggunaan lahan dari hulu hingga hilir sungai). Akibatnya, sebagian besar air hujan tidak terserap tanah, tetapi mengalir di permukaan tanah, lalu langsung masuk ke sungai. Apa pun yang dilakukan Gubernur Fauzi Bowo untuk mengatasi banjir di Jakarta, akan sia-sia kalau lahan di kawasan DAS Ciliwung tidak ditata sesuai konservasi tanah dan air. Silakan cek blog beliau, banyakinsight soal banjir Jakarta.
Menangani masalah resapan air di kawasan DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung itu butuh kerjasama Pemprov Jabar dan Pemprov DKI karena DAS Ciliwung itu mulai dari Gunung Gede sampai Tanjung Priok. Pemprov DKI mestinya sudah mulai langkah-langkah ini. Bila belum, niscaya masalah banjir ini tidak pernah akan terselesaikan. Bila mau dimulai, maka pekerjaan ini tidak akan selesai dalam jangka pendek – satu periode Gubernur misalnya. Karena mengatasi masalah ini harus melibatkan tim terpadu penyelesaian penataan DAS Ciliwung itu dengan prinsip satu sungai satu penyelesaian dan solusinya mungkin melibatkan relokasi lahan pemukiman dan perubahan tata kelola lahan. Selain itu secara nasional juga dibutuhkan UU Konservasi Tanah dan Air yang mengharuskan seluruh masyarakat menerapkan teknik konservasi tanah dan air secara memadai setiap menggunakan lahan agar tidak menyebabkan degradasi lahan di DAS. Namun tidak akan selesai dalam jangka pendek, tidak berarti boleh diabaikan. Hal ini harus dimulai, sekarang.
Nah itu PR pemerintah, bagaimana dengan kita? Ada yang dapat kita lakukan untuk membantu mengurangi banjir Jakarta. Pemprov DKI mengusulkan pembuatan Lubang Resapan Biopori (LRB) dan sumur resapan di pemukiman. Idenya dengan membuat sumur resapan dan LRB, air di pemukiman dapat meresap ke tanah sehingga mengurangi jumlah limpasan. Secara teori, hal ini sangat masuk akal. Target Pemprov DKI adalah 78 juta LRB. Saat ini baru ada 700-an ribu titik LRB yang dibuat. Sungguh masih jauh dari target. Kampanye LRB seakan tidak segencar kampanye Fauzi Bowo lainnya yang memuat wajahnya di billboard-billboard jalan arteri Jakarta. Tampaknya tagline “serahkan Jakarta pada ahlinya” sudah saatnya diubah menjadi “serahkan Jakarta pada warganya”.
Selain membuat LRB, kita juga dapat membantu misalnya dengan membiarkan air hujan dari atap jatuh ke halaman (yang tidak dibeton/semen) bukan ke saluran. Dengan demikian air hujan akan meresap ke dalam tanah, sangat membantu mengurangi volume air limpasan. Bayangkan rumah dengan ukuran 6×15 = 90 m2, air sebanyak 90 m2 selama hujan berlangsung itu daripada dialihkan ke saluran kita biarkan ia meresap ke tanah. Talang dari atap kita arahkan ke halaman depan dan belakang rumah, bukan ke saluran. Air akan menggenangi permukaan tanah selama beberapa waktu namun biarkan karena air akan meresap ke dalam tanah. Bila menggunakan sumur, air tanah pun akan naik.
Demikian hal-hal kecil yang dapat kita lakukan sementara menunggu Pemprov DKI menyelesaikan PR-nya. Untuk selamatkan Jakarta dari banjir, tidak cukup diserahkan kepada ahlinya, warga juga dapat (dan mesti) berperan serta. Memahami hal ini, bahwa banjir di Jakarta disebabkan oleh pembangunan sesukanya di Jakarta dan di hulu DAS Ciliwung (Bogor, Depok) jauh sebelum era Foke, apakah kita masih akan tetap bersumpah serapah di twitter soal #Foke setiap banjir? Atau kita akan mendorongnya untuk membereskan PR-nya dan kita juga menyelesaikan PR kita? Semua itu terserah kepada Anda, warga Jakarta. Kota ini milik kita bersama.
artikel asli berasal dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar