Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan sedikit dari peninggalan
sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang masih hidup hingga kini, dan masih
mempunyai pengaruh luas di kalangan rakyatnya.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang
kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755. Pemerintah
Hindia Belanda mengakui Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai kerajaan
dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak
politik. Kontrak politik terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941,
No. 47.
Daftar sultan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
1.
|
Sri Sultan
Hamengkubuwono I
|
13 Februari 1755 -
|
24 Maret 1792
|
|
2.
|
Sri Sultan
Hamengkubuwono II
|
2 April
1792
|
akhir 1810
|
periode pertama
|
3.
|
Sri Sultan
Hamengkubuwono III
|
akhir 1810
|
akhir 1811
|
periode pertama
|
Sri Sultan
Hamengkubuwono II
|
akhir 1811
|
20 Juni
1812
|
periode kedua
|
|
Sri Sultan
Hamengkubuwono III
|
29 Juni
1812
|
3 November 1814
|
periode kedua
|
|
4.
|
Sri Sultan Hamengkubuwono
IV
|
9 November 1814
|
6 Desember 1823
|
|
5.
|
Sri Sultan
Hamengkubuwono V
|
19Desember 1823
|
17 Agustus 1826
|
periode pertama
|
Sri Sultan
Hamengkubuwono II
|
17 Agustus 1826
|
2 Januari 1828
|
periode ketiga
|
|
Sri Sultan Hamengkubuwono
V
|
17 Januari 1828
|
5 Juni
1855
|
periode kedua
|
|
6.
|
Sri Sultan
Hamengkubuwono VI
|
5 Juli
1855
|
20 Juli
1877
|
|
7.
|
Sri Sultan
Hamengkubuwono VII
|
22 Desember 1877
|
29 Januari 1921
|
|
8.
|
Sri Sultan Hamengkubuwono
VIII
|
8 Februari 1921
|
22 Oktober 1939
|
|
9.
|
Sri Sultan
Hamengkubuwono IX
|
18 Maret 1940
|
2 Oktober 1988
|
|
10.
|
Sri Sultan
Hamengkubuwono X
|
7 Maret
1989
|
sekarang
|
Berikut ini merupakan Sultan-sultan yang memerintah di Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat sejak awal didirikan hingga sekarang adalah :
1. Sultan Hamengku Buwono I
Sultan
Hamengku Buwono I (6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792) terlahir dengan nama Raden
Mas Sujana yang merupakan adik Susuhunan Mataram II Surakarta. Sultan
Hamengkubuwana I dalam sejarah terkenal sebagai Pangeran Mangkubumi pada waktu
sebelum naik tahta kerajaan Ngayogyakarta, beliau adalah putra Sunan Prabu dan
saudara muda Susuhunan Pakubuwana II. Karena berselisih dengan Pakubuwana II,
masalah suksesi, ia mulai menentang Pakubuwana II (1747) yang mendapat dukungan
Vereenigde Oost Indische Compagnie atau lebih terkenal sebagai Kompeni Belanda
(perang Perebutan Mahkota III di Mataram).
Dalam pertempurannya melawan kakaknya, Pangeran Mangkubumi
dengan bantuan panglimanya Raden Mas Said, terbukti sebagai ahli siasat perang
yang ulung, seperti ternyata dalam pertempuran-pertempuran di Grobogan, Demak
dan pada puncak kemenangannya dalam pertempuran di tepi Sungai Bagawanta.
Disana Panglima Belanda De Clerck bersama pasukannya dihancurkan (1751).
peristiwa lain yang penting menyebabkan Pangeran Mangkubumi tidak suka
berkompromi dengan Kompeni Belanda.
Pada tahun 1749 Susuhunan Pakubuwana II sebelum mangkat menyerahkan kerajaan
Mataram kepada Kompeni Belanda; Putra Mahkota dinobatkan oleh Kompeni Belanda
menjadi Susuhunan Pakubuwana III. Kemudian hari Raden Mas Said bercekcok dengan
Pangeran Mangkubumi dan akhirnya diberi kekuasaan tanah dan mendapat gelar
pangeran Mangkunegara.
Pangeran Mangkubumi tidak mengakui penyerahan Mataram kepada Kompeni
Belanda. Setelah pihak Belanda beberapa kali gagal mengajak Pangeran Mangkubumi
berunding menghentikan perang dikirimkan seorang Arab dari Batavia yang mengaku
ulama yang datang dari Tanah Suci. Berkat pembujuk ini akhirnya diadakan
perjanjian di Giyanti (sebelah timur kota Surakarta) antara Pangeran Mangkubumi
dan Kompeni Belanda serta Susuhunan Pakubuwana III (1755).
Menurut Perjanjian Giyanti itu kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, ialah
kerajaan Surakarta yang tetap dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwana III dan
kerajaan Ngayogyakarta dibawah Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan
Hamengkubuwana I yang bergelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama
Khalifatullah dengan karatonnya di Yogyakarta. Atas kehendak Sultan
Hamengkubuwana I kota Ngayogyakarta (Jogja menurut ucapan sekarang) dijadikan
ibukota kerajaan. Kecuali mendirikan istana baru, Hamengkubuwana I yang
berdarah seni mendirikan bangunan tempat bercengrama Taman Sari yang terletak
di sebelah barat istananya.
Kisah pembagian kerajaan Mataram II ini dan peperangan antara
pangeran-pangerannya merebut kekuasaan digubah oleh Yasadipura menjadi karya
sastra yang disebut Babad Giyanti. Sultan Hamengkubuwana I dikenal oleh
rakyatnya sebagai panglima, negarawan dan pemimpin rakyat yang cakap. Beliau
meninggal pada tahun 1792 Masehi dalam usia tinggi dan dimakamkan Astana
Kasuwargan di Imogiri. Putra Mahkota menggantikannya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono
II. Hamengkubuwana I dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia pada
peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2006.
2. Sultan Hamengku Buwono II
Hamengkubuwono
II (7 Maret 1750 – 2 Januari 1828) atau terkenal pula dengan nama lainnya
Sultan Sepuh. Dikenal sebagai penentang kekuasaan Belanda, antara lain
menentang gubernur jendral Daendels dan Raffles, sultan menentang aturan
protokoler baru ciptaan Daendels mengenai alat kebesaran Residen Belanda, pada
saat menghadap sultan misalnya hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka
topi, perselisihan antara Hamengkubuwana II dengan susuhunan surakarta tentang
batas daerah kekuasaan juga mengakibatkan Daendels memaksa Hamengkubuwono II
turun takhta pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya bertahta secara
terputus-putus hingga tahun 1828 yaitu akhir 1811 ketika Inggris menginjakkan
kaki di jawa (Indonesia) sampai pertengahan 1812 ketika tentara Inggris
menyerbu keraton Yogyakarta dan 1826 untuk meredam perlawanan Diponegoro sampai
1828. Hamengkubuwono III, Hamengkubuwono IV dan Hamengkubuwono V sempat
bertahta saat masa hidupnyaSri Sultan Hamengku Buwono II.
Saat menjadi putra mahkota beliau mengusulkan untuk dibangun benteng kraton
untuk menahan seragan tentara inggris. Tahun 1812 Raffles menyerbu Yogyakarta
dan menangkap Sultan Sepuh yang kemudian diasingkan di Pulau Pinang kemudian
dipindah ke Ambon.
3. Sultan Hamengku Buwono III
Hamengkubuwana
III (1769 – 3 November 1814) adalah putra dari Hamengkubuwana II (Sultan
Sepuh). Hamengkubuwana III memegang kekuasaan pada tahun 1810. Setahun kemudian
ketika Pemerintah Belanda digantikan Pemerintah Inggris di bawah pimpinan
Letnan Gubernur Raffles, Sultan Hamengkubuwana III turun tahta dan kerajaan
dipimpin oleh Sultan Sepuh (Hamengkubuwana II) kembali selama satu tahun
(1812). Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana III keraton Yogyakarta
mengalami kemunduran yang besar-besaran. Kemunduran-kemunduran tersebut antara
lain :
1. Kerajaan Ngayogyakarta diharuskan melepaskan daerah Kedu, separuh
Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar
100.000 real setahunnya.
2. Angkatan perang kerajaan diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan
keraton.
3. Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo
yang berjasa kepada Raffles dan diangkat menjadi Pangeran Adipati Ario Paku
Alam I.
Pada tahun 1814 Hamengkubuwana III mangkat dalam usia 43 tahun.
4. Sultan Hamengku Buwono IV
Hamengkubuwono
IV (3 April 1804 – 6 Desember 1822) sewaktu kecil bernama BRM Ibnu Jarot,
diangkat sebagai raja pada usia 10 tahun, karenanya dalam memerintah didampingi
wali yaitu Paku Alam I hingga tahun 1820. Pada masa pemerintahannya
diberlakukan sistem sewa tanah untuk swasta tetapi justru merugikan rakyat. Pada
tahun 1822 beliau wafat pada saat bertamasya sehingga diberi gelar Sultan Seda
Ing Pesiyar (Sultan yang meninggal pada saat berpesiar).
5. Sultan Hamengku Buwono V
Hamengkubuwono
V (25 Januari 1820 – 1826 dan 1828 – 4 Juni 1855) bernama kecil Raden Mas Menol
dan dinobatkan sebagai raja di kesultanan Yogyakarta dalam usia 3 tahun. Dalam
memerintah beliau dibantu dewan perwalian yang antara lain beranggotakan
Pangeran Diponegoro sampai tahun 1836. Dalam masa pemerintahannya sempat
terjadi peristiwa penting yaitu Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang
berlangsung 1825 – 1830.
Setelah perang selesai angkatan bersenjata Kesultanan Yogyakarta semakin
diperkecil lagi sehingga jumlahnya menjadi sama dengan sekarang ini. Selain itu
angkatan bersenjata juga mengalami demiliterisasi dimana jumlah serta macam
senjata dan personil serta perlengkapan lain diatur oleh Gubernur Jenderal
Belanda untuk mencegah terulangnya perlawanan kepada Belanda seperti waktu yang
lalu.
Beliau mangkat pada tahun 1855 tanpa meninggalkan putra yang dapat
menggantikannya dan tahta diserahkan pada adiknya.
6. Sultan Hamengku Buwono VI
Sultan Hamengku Buwono VI (19 Agustus 1821 – 20 Juli 1877) adalah adik dari
Hamengkubuwono V. Hamengkubuwono VI semula bernama Pangeran Adipati Mangkubumi.
Kedekatannya dengan Belanda membuatnya mendapat pangkat Letnan Kolonel pada
tahun 1839 dan Kolonel pada tahun 1847 dari Belanda.
7. Sultan Hamengku Buwono VII
Nama aslinya adalah Raden Mas Murtejo, putra Hamengkubuwono VI yang
lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Ia naik takhta menggantikan ayahnya sejak
tahun 1877.
Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VII, banyak didirikan pabrik gula di
Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik
memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar Rp 200.000,00. Hal ini
mengakibatkan Sultan sangat kaya sehingga sering dijuluki Sultan Sugih.
Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di
Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya
belajar hingga ke negeri Belanda.
Pada tanggal 29 Januari 1920 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia lebih
dari 80 tahun memutuskan untuk turun tahta dan mengangkat putra mahkota sebagai
penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena putera
mahkota (GRM. Akhadiyat) yang seharusnya menggantikan tiba-tiba meninggal dunia
dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya.
Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju
dengan putera Mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu
menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia.
Biasanya dalam pergantian tahta raja kepada putera mahkota ialah menunggu
sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena
pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih
hidup, bahkan menurut cerita masa lalu sang ayah diasingkan oleh anaknya
pengganti putera mahkota yang wafat ke Keraton di luar keraton Yogyakarta.
Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di
dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah
menguasai kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun tahta,
Hamengkubuwono VII pernah mengatakan “Tidak pernah ada Raja yang mati di
keraton setelah saya” yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua
raja setelah dirinya yang meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII
meninggal dunia di tengah perjalanan di luar kota dan Hamengkubuwono IX
meninggal di Amerika Serikat. Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika
seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di
keraton pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Imogiri.
Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada
Belanda untuk madeg pandito (menjadi pertapa) di Pesanggrahan Ngambarukmo
(sekarang Ambarukmo). Sampai saat ini bekas pesanggrahan itu masih ada dan di
sebelah timurnya dulu pernah berdiri Hotel Ambarukmo yang sekarang sudah tidak
ada lagi.
8. Sultan Hamengku Buwono VIII
Sri
Sultan Hamengkubuwono VIII (Kraton Yogyakarta Adiningrat, 3 Maret 1880 – Kraton
Yogyakarta Adiningrat, 22 Oktober 1939) adalah salah seorang raja yang pernah
memimpin di Kesultanan Yogyakarta. Dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta pada
tanngal 8 Februari 1921. Pada masa Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta
mempunyai banyak dana yang dipakai untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai
sekolah-sekolah kesultanan.
Putra-putra Hamengkubuwono VIII banyak disekolahkan hingga perguruan tinggi,
banyak diantaranya di Belanda. Salah satunya adalah GRM Dorojatun, yang kelak
bertahta dengan gelar Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di Universitas Leiden.
Pada masa pemerintahannya, beliau banyak mengadakan rehabilitasi bangunan
kompleks keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah bangsal Pagelaran yang
terletak di paling depan sendiri (berada tepat di selatan Alun-alun utara
Yogyakarta). Bangunan lainnya yang rehabilitasi adalah tratag Siti Hinggil,
Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe. Beliau meninggal pada tanggal 22 Oktober
1939 di RS Panti Rapih Yogyakarta karena menderita sakit.
9. Sultan Hamengku Buwono IX
Sri
Sultan Hamengkubuwono IX (Yogyakarta, 12 April 1912-Washington, DC, AS, 1
Oktober 1988) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di Kasultanan
Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Beliau juga Wakil Presiden
Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Beliau juga dikenal sebagai Bapak
Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan
Pramuka.
Lahir di Yogyakarta dengan nama GRM Dorojatun, Hamengkubuwono IX adalah
putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Diumur 4
tahun Hamengkubuwono IX tinggal pisah dari keluarganya. Dia memperoleh
pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada
tahun 1930-an beliau berkuliah di Universiteit Leiden, Belanda (”Sultan
Henkie”).
Hamengkubuwono IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret
1940 dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono
Senopati Ing Alogo Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang
Jumeneng Kaping Songo”. Beliau merupakan sultan yang menentang penjajahan
Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong
agar pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat
“Istimewa”.
Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang
dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah
Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil
presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk
dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada
rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak
menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan
hanyut pada KKN.
Minggu malam pada 1 Oktober 1988 ia wafat di George Washington University
Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram
di Imogiri.
10. Sultan Hamengku Buwono X
Sri
Sultan Hamengkubuwono X (Kraton Yogyakarta Hadiningrat, 2 April 1946 –
sekarang) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di Kasultanan
Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sejak 1998. Hamengkubuwono X
lahir dengan nama BRM Herjuno Darpito.
Setelah dewasa bergelar KGPH Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra
mahkota diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing
Mataram. Hamengkubuwono X adalah seorang lulusan Fakultas Hukum UGM dan
dinobatkan sebagai raja pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921)
dengan gelar resmi Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku
Buwono Senapati ing Alogo Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah
ingkang Jumeneng Kaping Dasa.
Hamengkubuwono X aktif dalam berbagai organisasi dan pernah memegang
berbagai jabatan diantaranya adalah ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD Golkar
DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT Punokawan yang bergerak dalam bidang jasa
konstruksi, Presiden Komisaris PG Madukismo, dan pada bulan Juli 1996 diangkat
sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur DIY.Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui
beberapa perdebatan, pada 1998 beliau ditetapkan sebagai Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan masa jabatan 1998-2003.
Dalam masa jabatan ini Hamengkubuwono X tidak didampingi Wakil Gubernur.
Pada tahun 2003 beliau ditetapkan lagi, setelah terjadi beberapa pro-kontra,
sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk masa jabatan 2003-2008. Kali
ini beliau didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.Sejak menggantikan
ayahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang meninggal di Amerika, 8 Oktober
1988, Ngersa Dalem, demikian ia biasa disapa, dikenal sebagai sosok yang dekat
dengan rakyatnya.
Dalam suatu kesempatan, ia pernah mengatakan, keberpihakan pada rakyat itu
tetap harus dilakukan sebagai suatu panggilan. “Saya harus membentuk jati diri
untuk tumbuh dan mengembangkan wawasan untuk keberpihakan itu sendiri sebagai
suatu kewajiban yang harus dilakukan. Selain itu, masyarakat juga agar
mengetahui setiap gerak langkah saya dalam membentuk jati diri, dan rakyat
diberi kesempatan untuk melihat bener atau tidak, mampu atau tidak, sependapat
atau tidak, dan sebagainya”, ujuarnya.
Keberpihakannya pada rakyat ini memang terbukti. Pada 14 Mei 1998, ketika
gelombang demontrasi mahasiswa semakin membesar, Sultan mengatakan, “Saya siap
turun ke jalan”. Ia benar-benar tampil dan berpidato di berbagai tempat menyuarakan
pembelaan pada rakyat, sambil berpesan “Jogja harus menjadi pelopor gerakan
reformasi secara damai, tanpa kekerasan”.Aksi turun ke jalan yang dilakukan Sri
Sultan HB X itu bukan tanpa alasan. “Jika pemimpin tidak benar, kewajiban saya
untuk mengingatkan. Karena memang kebangetan (keterlaluan), ya tak pasani
sesasi tenan (ya saya puasai sebulan penuh)”, katanya.
Puasa itu dimulai 19 April dan berakhir 19 Mei 1998 saat Sri Sultan HB X dan
Sri Paku Alam VIII tampil bersama menyuarakan “Maklumat Yogyakarta”, yang
mendukung gerakan reformasi total dan damai. Itu yang dia sebut ngelakoni. Pada
akhir puasa, ia mengaku mendapat isyarat kultural “Soeharto jatuh, manakala
omah tawon sekembaran dirubung laron sak pirang-pirang” (sepasang sarang tawon
dikerumuni kelekatu dalam jumlah sangat banyak).
“Bukan maksud saya mengabaikan peran mahasiswa. Saya hanya mendukung gerakan
itu dengan laku kultural. Itu maksud saya”. Memang, sehari setelah banjir massa
yang jumlahnya sering disebut lebih dari sejuta manusia di Alun-alun Utara
Jogjakarta—mengikuti Aksi Reformasi Damai dengan mengerumuni sepasang berigin
berpagar (ringin kurung)—Soeharto pun lengser.
Sri Sultan HB X dengan Keraton Jogjakarta-nya memang fenomenal. Kedekatannya
dengan rakyat, dan karena itu juga kepercayaan rakyat terhadapnya, telah
menjadi ciri khas yang mewarisi hingga kini. Lihat saja, misalnya, pada 20 Mei
1998, di bawah reksa Sultan, aparat keamanan berani melepas mahasiswa ke
alun-alun utara. Sebelum itu hampir setiap hari mahasiswa bersitegang melawan
aparat keamanan untuk keluar dari kampus.
Di pagi hari yang cerah di hari peringatan Kebangkitan Nasional 1998 itu,
mahasiswa berbaris dengan amat tertib menyuarakan “mantra” sakti reformasi
menuju Alun-alun Utara. Mereka pergi untuk mendengarkan maklumat yang akan
dibacakan sebagai semacam pernyataan politik Sri Sultan.
Di era reformasi, bersama Gus Dur, Megawati dan Amien Rais, Sultan Hamengku
Buwono X menjadi tokoh yang selalu diperhitungkan. Legitimasi mereka berempat
sebagai tokoh-tokoh yang dipercaya rakyat bahkan melebihi legitimasi yang
dimiliki lembaga formal seperti DPR.
Mereka berempat adalah deklarator Ciganjur, yang lahir justru ketika MPR
sedang melakukan bersidang. Mereka berempat, plus Nurcholis Madjid dan beberapa
tokoh nasional lain, diundang Pangab Jenderal TNI Wiranto untuk ikut
mengupayakan keselamatan bangsa, setelah pristiwa kerusuhan di Ambon.Pada masa
kepemimpinannya, Yogyakarta mengalami gempa bumi yang terjadi pada bulan Mei
2006 dengan skala 5,9 sampai dengan 6,2 Skala Richter yang menewaskan lebih
dari 6000 orang dan melukai puluhan ribu orang lainnya.
Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran Keraton 7 April
2007, ia menegaskan tekadnya untuk tidak lagi menjabat setelah periode
jabatannya 2003-2008 berakhir. Dalam pisowanan agung yang dihadiri sekitar
40.000 warga, ia mengaku akan mulai berkiprah di kancah nasional. Ia akan
menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk kepentingan bangsa dan negara.
*dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar