Ketakutan masyarakat Indonesia terhadap kekuatan alam sekaligus kecintaan pada budaya spiritual, diakui atau tidak, ikut menumbuh suburkan berbagai tradisi yang tetap terpelihara hingga kini. Upacara adat menjadi salah satu buktinya.
Diantara sekian banyak upacara adat yang digelar di pelosok negeri, ada Saparan Bekakak yang menarik untuk diikuti. Rutin dihelat tiap tahun oleh masyarakat Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta, tradisi ini merupakan wujud persembahan sebagai bentuk tolak bala.
Disebut Saparan karena upacara ini diselenggarakan pada bulan Sapar (Syafar), bulan kedua dalam kalender Hijaiyah. Sedangkan, Bekakak sendiri berarti korban penyembelihan yang berwujud hewan atau manusia.
Namun, manusia yang dimaksud dalam upacara ini adalah tiruan yang berwujud sepasang boneka pengantin dengan posisi duduk bersila, terbuat dari ketan berisi cairan sirup gula merah.
Bermula dari sebuah bencana
Adanya upacara Saparan Bekakak bermula dari sebuah musibah yang menimpa Kyai dan Nyai Wirosuto. Keduanya merupakan pasangan suami istri yang juga merupakan abdi dalem Pangeran Mangkubumi, raja pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sebagai raja baru, Sultan bermaksud mendirikan sebuah istana sebagai tempat kediaman. Sembari menunggu pembangunan selesai, pesanggrahan Ambar ketawang dipilih sebagai tempat tinggal untuk sementara waktu. Tercatat, sejumlah abdi dalem sang raja yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I tersebut.
Di antara sekian banyak abdi dalem, Kyai dan Nyai Wirosuto merupakan yang paling rajin dan setia. Selain itu, keduanya juga merupakan abdi dalem penongsong. Tugasnya, memayungi dengan payung kebesaran keraton kemanapun sang sultan pergi.
Ketika Keraton Yogyakarta akhirnya selesai dibangun, raja yang mulai memegang tampuk kekuasaan pada 1755 ini memutuskan tinggal di istana barunya. Sementara, pasangan Kyai dan Nyai Wirosuto memutuskan tetap tinggal di pesanggrahan untuk merawat tempat peristirahatan raja mereka. Permintaan ini pun dengan bijak dikabulkan oleh Sri Sultan.
Beberapa waktu berlalu, tanpa diduga sebelumnya, tepat pada Jumat Kliwon di bulan Sapar, Gunung Gamping yang berada dekat dengan pesanggrahan tiba-tiba runtuh. Banyak warga yang menjadi korban tertimbun longsoran batu kapur, tak terkecuali pasangan Kyai dan Nyai Wirosuto .
Entah kenapa, semenjak kejadian tersebut Ambarketawang selalu terkena musibah di bulan Sapar. Akibatnya, banyak korban berjatuhan.
Mendengar keresahan warganya, Sri Sultan Hamengkubuwono I pun bertapa di Gunung Gamping. Dimana kemudian, beliau mendapatkan wisik dari Setan Bekasakan, penunggu Gunung Gamping. Dalam wisik teresebut, sang penunggu meminta sultan mengorbankan sepasang pengantin setiap tahunnya sebagai ganti atas batu kapur yang selalu digali di tempat tersebut oleh masyarakat sekitar.
Tak banyak buang waktu, Sultan lantas memerintahkan membuat sesaji sebagaimana yang diminta. Alih-alih mengorbankan pengantin sungguhan, sultan memerintahkan untuk menggantinya dengan boneka berwujud pengantin. Boneka ini dibuat dari tepung ketan berisi sirup gula merah.
Siapa sangka, tipuan ini ternyata berhasil. Dan sejak saat itulah ritual Saparan Bekakak rutin diselenggarakan setiap tahunnya di Desa Ambarketawang. Masyarakat percaya bahwa upacara ini akan menghindarkan dari musibah dan gangguan dari roh jahat.
Prosesi Ritual
Pelaksanaan upacara sendiri terbagi dalam beberapa tahap. Mulai dari midodareni pengantin bekakak, kirab, hingga penyembelihan pengantin bekakak dan sugengan ageng.
Dalam upacara ini, boneka pengantin dirias dengan gaya Solo dan Yogyakarta. Keduanya dibuat dua hari sebelum prosesi dimulai. Proses pembuatannya pun tak boleh sembarangan. Iringan gejog lesung yang mendendangkan tembang pernikahan ikut meramaikan tahapan ini.
Setelah seluruh atribut siap, upacara adat pun mulai dilaksanakan. Prosesi diawali dengan pengambilan air suci Tirto Donojati. Dilanjutkan dengan membawa semua atribut upacara menuju balai pertemuan sebagai syarat dimulainya midodareni pengantin bekakak. Tirakatan dan pertunjukan wayang selama semalam suntuk ikut digelar untuk meramaikan tahapan ini.
Keesokan harinya, pengantin diarak menuju Gunung Gamping dan Gunung Kiling. Sebelum itu, pementasan bertema “Prasetyaning Sang Abdi” yang menceritakan kisah tentang Ki Wirosuto digelar.
Sesampainya di lokasi, pengantin bekakak selanjutnya dibawa menuju altar penyembelihan untuk disembelih oleh utusan dari Keraton Yogyakarta. Sebagai penutup ritual, pihak keraton lantas membagikan isi gunungan dan potongan tubuh bekakak pada seluruh warga yang hadir.
sumber: GNFI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar