Hampir 50 tahun silam, seorang pemuda dari Pare-Pare, Sulawesi Selatan, mempertahankan sebuah disertasi doktoral (S3) di RWTH Aachen, sebuah perguruan tinggi teknik terkemuka di Jerman Barat. Hari ini, hampir semua orang Indonesia mengenal nama pemuda ini. Prof. Dr.-Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie. Beliau akrab disebut Pak Habibie, atau Habibie saja.
Karirnya meroket sejak kepulangannya ke tanah air pada 1974. Pada 1976, beliau diangkat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi, dan menjadi presiden RI menggantikan Suharto pada 1998. Sejak akhir 70an, di bawah arahannya, Indonesia memulai program-program sains dan teknologi secara sistematis. Keahliannya mendesain pesawat terbang yang diperoleh dari pengalamannya bekerja di pabrik pesawat Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB) mendorongnya untuk mendirikan PT. Nurtanio, yang bertransformasi menjadi PT IPTN dan kini PT Dirgantara Indonesia. Tidak hanya itu, berbagai industri strategis yang jamak dimiliki negara Barat (maju) dibangun di Indonesia. Pusat-pusat riset dibuka di mana-mana. "Penguasaan teknologi" adalah terminologi kunci. Bahkan bagi negara yang agraris, dengan masyarakat yang kata majalah National Geographic memijakkan kedua kakinya di dua dunia yang terpisah secara diametral. Kaki kanan di dunia modern, kaki kiri di dunia tradisional. Istilahnya singkat: Two worlds. Time apart. Oleh sebab itu, meskipun ramai yang mendukungnya (terutama Presiden Suharto sendiri ketika itu), ramai pula yang mengkritiknya (karena lompatan teknologi yang terlalu tiba-tiba).
Tapi semua itu tidak lahir secara tiba-tiba. Habibie adalah satu dari belasan atau puluhan pemuda yang dikirim Sukarno ke Eropa untuk mempelajari teknologi. Ada tiga gelombang: Gelombang I ke Belanda (1951-1954); Gelombang II ke Jerman Barat (1954-1958); Gelombang III ke Cekoslowakia dan Uni Soviet (1958-1962). Habibie masuk Gelombang ke II. Sebagian besar pemuda itu lulus dan kembali ke tanah air. Sebagian lainnya tidak dapat pulang karena alasan politik, sehingga menetap di negara tempatnya belajar (misalnya Uni Soviet).
Di sana, para pemuda termasuk Habibie sangat serius belajar untuk menyerap ilmu-ilmu dan teknologi terbaru. Sebagian dari mereka bahkan mencapai jenjang pendidikan doktor, yang kala itu sangat langka, khususnya bidang sains dan teknologi.
Hampir 50 tahun silam, tepatnya pada 1965, Habibie mempertahankan sebuah disertasi di depan para promotor. Bidangnya konstruksi pesawat terbang, yang berada di bawah Fakultas Teknik Mesin (Fakultät für Maschinenwesen), RWTH Aachen.
Disertasinya tipis, 'hanya' 55 halaman. Sampulnya berwarna biru keabu-abuan, mirip kertas manila. Di dalamnya, teks berbahasa Jerman ditulis rapi dengan mesin ketik, rumus-rumus ditulis tangan, grafik digambar dengan bolpoin. Judulnya: Beitrag zur Temperaturbeanspruchung der orthotropen Kreigscheibe. Judul disertasi ini kurang lebih diartikan sebagai berikut: On the thermal stresses of orthotropic plates (Tegangan thermal pada pelat ortothropik). Di dalam buku Dr Sulfikar Amir (The Technological State in Indonesia: The Co-constitution of High Technology and and Authoritarian Politics, Routledge, 2013), judul ini dibahasa-Inggriskan menjadi: Contribution to the temperature demand for orthotopic collarflange, yang saya rasa kurang tepat.
Isi disertasi ini adalah derivasi atau turunan matematika yang didasarkan pada teori thermoelastisitas (Timoshenko dan Goodier, Stanford University) untuk menghitung tegangan thermal pada sebuah pelat yang kekakuan dalam arah ortogonalnya berbeda. Teori ini dapat diaplikasikan untuk menghitung tegangan thermal pada sayap pesawat ketika memasuki rejim hipersonik, di mana efek temperatur cukup signifikan. Teori ini (kemungkinan) dipecahkan secara numerik dengan menggunakan komputer. Dua promotornya bernama Prof. Dr.-Ing. Hans Ebner dan Prof. Dr.-Ing. Wilhelm Dettmering.
Usaha untuk mendapatkan disertasi Pak Habibie cukup melelahkan (mesti naik turun bukit mencari perpustakaan fakultas, karena ternyata disertasinya belum terkirim ke perpustakaan pusat - masih ada di jurusan, dan ada di gudang!). Terima kasih kepada kawan-kawan di Jerman: Noni, Romi, Ismail, Riza. Setelah memfoto, dan Romi membantu men-scan halaman-halamannya dengan sabar, akhirnya tersimpan juga dokumen penting itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar