Jumat, 15 Februari 2008

Menuju HDTV

Jika dipaksakan, tayangan televisi konvensional pada layar lebar akan menimbulkan dampak yang mengurangi kenyamanan pemirsanya. Jika disetel sama dengan format aslinya, layar lebar (16:9) akan memberikan gambar yang lebih kecil dibandingkan dengan layar 4:3 pada ukuran televisi yang sama dan, bila dipaksa memenuhi seluruh permukaan layar, tayangan akan tampak gepeng.

Format layar lebar pertama kali sukses diperkenalkan tahun 1953 dalam film The Robe dengan format CinemaScope. Format CinemaScope ini merupakan salah satu format layar lebar yang lebih lebar dari format 16:9 sehingga jika ditampilkan pada layar 16:9 masih akan tampak memotong bagian atas dan bawah secara horizontal.
Dengan demikian, apabila hanya digunakan untuk menikmati tayangan televisi konvensional—yang untuk kondisi Indonesia masih bertahan setidaknya delapan tahun lagi—televisi "berkonde" itu masih lebih baik. Bahkan, sampai pada tayangan DVD, kualitas gambarnya masih mendukung, hanya melemah ketika menayangkan film berasio 16:9.

Pada persoalan rasio aspek, setiap produsen juga menawarkan variasi yang berbeda-beda meski pada intinya format yang disediakan berdasar pada perbandingan 4:3 dan 16:9. Pada pilihan layar yang mana pun, keduanya bisa menimbulkan inefisiensi pada penggunaan layar, tetapi masyarakat tampaknya sudah menerima begitu saja.

Kuatnya dorongan membuat home theater sepertinya mengesahkan format layar lebar pada televisi konvensional dan hal ini semakin diperkuat dengan munculnya tayangan HDTV, sebuah tayangan televisi secara digital. Beberapa negara sudah memberlakukan tayangan televisi secara digital—sebagian besar sedang dalam tahap phase-out televisi analog—yang biasanya terbagi dalam dua sistem, yaitu standard definition television (SDTV) dan HDTV.

HDTV saat ini, selain dipancarkan melalui gelombang, juga sudah dilakukan melalui kabel yang pendekatannya lebih pada hiburan. Untuk negara seperti Indonesia, dengan mudah bisa ditemui melalui pemutar HDTV, apakah itu DVD Blu-ray maupun HD DVD yang saat ini sudah ada di pasaran meski jumlah film berformat HDTV yang tersedia masih sangat terbatas.
Kualitas gambar terbaik layar HDTV sering disebut full HDTV, yaitu mampu menayangkan gambar 1080p (1920 x 1080 garis secara progresif). Kebanyakan di pasaran (terutama untuk ukuran di bawah 40 inci) masih menyediakan HD Ready, di mana untuk layar ataupun proyeksi minimum 720 garis vertikal, misalnya resolusi 1280 x 720, selain juga bisa menayangkan resolusi HDTV penuh.

Sebagai gambaran, televisi PAL satu frame tercipta dari sekitar 540 garis secara vertikal, sedangkan HD mempunyai dua variasi, 720 garis vertikal dan 1080 garis vertikal. Sistem interlace (i), satu frame terbentuk oleh sapuan garis berurutan melalui tembakan elektron ke dinding tabung, sedangkan progresif (ditandai dengan huruf p) satu frame ditampilkan serentak berupa gambar terkompresi.

Sistem progresif yang dikatakan lebih mulus dibandingkan dengan interlace mulai populer digunakan pada perangkat monitor komputer. Siaran HDTV datang dengan dua format 720p dan 1080i, sedangkan untuk full HDTV saat ini hanya bisa diperoleh dari perangkat pemutar HD DVD dan Blu-ray.

Kelebihan HDTV penuh ini memang lebih dirasakan ketajaman detailnya, terutama pada layar berukuran di atas 50 inci yang saat ini jumlahnya masih sedikit dan harganya juga mahal. Pada saat ini perusahaan yang membuat layar besar adalah LG dengan layar plasma selebar 60 inci dan 70 inci, Panasonic dengan layar 103 inci, Sharp yang semula mengeluarkan LCD 65 inci menggeber dengan 107 inci, terbesar di dunia saat ini.

Layar besar
Jika ingin membangun sebuah bioskop dalam rumah, jawabnya memang pada jenis proyektor. Hanya dengan tampilan "lampu sorot" inilah kita bisa menghasilkan gambar ukuran besar dengan harga yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan jenis plasma ataupun LCD ukuran besar (ukuran sekitar 100 inci).

Saat ini paling tidak ada dua tipe utama proyektor, yaitu proyektor LCD dan digital light processor (DLP) yang harganya sudah jauh lebih rendah dibandingkan dengan lima tahun lalu. Hanya, memang proyektor yang berkembang saat ini lebih ditujukan sebagai perangkat presentasi kantoran dibandingkan sebagai sarana hiburan.

Dengan demikian, kualitas warna kurang banyak mendapat perhatian. Apabila diperhatikan, warna yang tampil di layar sering berbeda dengan warna yang ada di layar komputer. Kelemahan lainnya adalah pada efek pelangi, warna yang berkilas-kilas pada layar sehingga mengganggu kenyamanan pemirsa.

Penerapan teknologi memang menghasilkan produk yang lebih murah, tetapi di sisi lain juga melemahkan kualitas. Perbaikan kualitas secara bertahap dilakukan, termasuk mengembalikan orientasi pada kebutuhan "bioskop rumahan", di antaranya dengan meningkatkan kualitas resolusi full HDTV sehingga untuk kebutuhan presentasi hanya perlu resolusi VGA ataupun XVGA.

Proyektor 1080 full HD seperti Gand Cinema HT3000E dari SIM2 menyertakan juga teknologi BrillianColor dari Texas Instruments. Produk ini lebih memilih tipe proyektor dengan tiga chip DLP, serupa dengan proyektor DreamBee dari DreamVision yang mengusung kualitas bioskop.

Selain kedua produk yang harganya sudah sekitar Rp 200 juta atau hampir sama dengan harga televisi plasma 70 inci atau televisi LCD 65 inci ini, masih ada produk lain yang lebih murah harganya, seperti produk InFocus IN78 (proyektor DLP) dan Epson EMP-TW1000 (proyektor LCD) yang sudah tentu produk-produk full HDTV ini sudah mendukung koneksi kabel HDMI.

Teknologi lain yang seupa adalah jenis rear projection yang lima tahun lalu sempat merajai televisi-televisi ukuran besar. Namun, reputasinya pun menurun seiring dengan menjamurnya televisi LCD dan plasma. Pasalnya, meskipun besar, televisi proyeksi layar belakang ini tidak setajam jenis tabung atau kedua rivalnya yang baru.

Yang ditunggu sekarang adalah teknologi organic light emiting diode (OLED) yang masih dalam tahap awal pengembangannya. Kelebihan teknologi ini adalah cara pembuatannya yang lebih sederhana dari teknologi mana pun (artinya harga akan bisa lebih rendah), bisa digunakan mulai dari layar ponsel sampai wallpaper elektronik atau layar raksasa yang bisa digulung dan tanpa memerlukan cahaya belakang seperti LCD.

Sampai saat ini jenis LCD lebih tepat untuk kebutuhan layar di bawah 42 inci, sedangkan layar di atas 42 inci lebih efisien menggunakan plasma. Plasma mempergunakan tabung-tabung gas renik yang masing-masing membentuk piksel. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila plasma tidak efisien atau sulit diterapkan untuk ukuran kecil.

LCD yang terbuat dari susunan kristal cair membuatnya bisa dibuat lebih renik dibandingkan dengan plasma sehingga LCD bisa memberikan resolusi yang lebih rapat. Konsumsi energinya juga lebih rendah, selain usianya juga bisa lebih lama, bahkan ketika back-light-nya mati masih bisa diupayakan untuk diganti.

Berbeda dengan plasma, ketika kemampuan gas mengemisikan sinar ultraviolet melemah atau bahkan mati, plasma tidak bisa lagi digunakan. Usia televisi plasma sekitar 60.000 jam sehingga, sebelum televisi ini tidak bisa berfungsi, sudah ada teknologi lain yang muncul dan lebih murah tentunya.

Kelebihan plasma adalah memiliki warna hitam yang lebih gelap dibandingkan dengan LCD, menampilkan gambar bergerak (seperti tayangan olahraga) yang lebih baik. Kelebihan dan kelemahan menyertai kedua jenis televisi. Meskipun demikian, keduanya lebih dipersiapkan untuk menyongsong hadirnya tayangan HDTV dengan format layar lebar.

Sekarang bergantung pada kebutuhan, mau plasma, LCD, proyektor, proyektor belakang, atau bahkan hanya televisi tabung; bergantung pada kebutuhan.... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar