Jika dipaksakan, tayangan
televisi konvensional pada layar lebar akan menimbulkan dampak yang mengurangi
kenyamanan pemirsanya. Jika disetel sama dengan format aslinya, layar lebar
(16:9) akan memberikan gambar yang lebih kecil dibandingkan dengan layar 4:3
pada ukuran televisi yang sama dan, bila dipaksa memenuhi seluruh permukaan layar,
tayangan akan tampak gepeng.
Dengan demikian, apabila
hanya digunakan untuk menikmati tayangan televisi konvensional—yang untuk
kondisi Indonesia masih bertahan setidaknya delapan tahun lagi—televisi
"berkonde" itu masih lebih baik. Bahkan, sampai pada tayangan DVD,
kualitas gambarnya masih mendukung, hanya melemah ketika menayangkan film
berasio 16:9.
Format layar lebar pertama
kali sukses diperkenalkan tahun 1953 dalam film The Robe dengan format
CinemaScope. Format CinemaScope ini merupakan salah satu format layar lebar
yang lebih lebar dari format 16:9 sehingga jika ditampilkan pada layar 16:9
masih akan tampak memotong bagian atas dan bawah secara horizontal.
Pada persoalan rasio aspek,
setiap produsen juga menawarkan variasi yang berbeda-beda meski pada intinya
format yang disediakan berdasar pada perbandingan 4:3 dan 16:9. Pada pilihan
layar yang mana pun, keduanya bisa menimbulkan inefisiensi pada penggunaan
layar, tetapi masyarakat tampaknya sudah menerima begitu saja.
Kuatnya dorongan membuat
home theater sepertinya mengesahkan format layar lebar pada televisi
konvensional dan hal ini semakin diperkuat dengan munculnya tayangan HDTV,
sebuah tayangan televisi secara digital. Beberapa negara sudah memberlakukan
tayangan televisi secara digital—sebagian besar sedang dalam tahap phase-out
televisi analog—yang biasanya terbagi dalam dua sistem, yaitu standard
definition television (SDTV) dan HDTV.
HDTV saat ini, selain
dipancarkan melalui gelombang, juga sudah dilakukan melalui kabel yang pendekatannya
lebih pada hiburan. Untuk negara seperti Indonesia, dengan mudah bisa ditemui
melalui pemutar HDTV, apakah itu DVD Blu-ray maupun HD DVD yang saat ini sudah
ada di pasaran meski jumlah film berformat HDTV yang tersedia masih sangat
terbatas.
Kualitas gambar terbaik
layar HDTV sering disebut full HDTV, yaitu mampu menayangkan gambar 1080p (1920
x 1080 garis secara progresif). Kebanyakan di pasaran (terutama untuk ukuran di
bawah 40 inci) masih menyediakan HD Ready, di mana untuk layar ataupun proyeksi
minimum 720 garis vertikal, misalnya resolusi 1280 x 720, selain juga bisa
menayangkan resolusi HDTV penuh.
Sebagai gambaran, televisi
PAL satu frame tercipta dari sekitar 540 garis secara vertikal, sedangkan HD
mempunyai dua variasi, 720 garis vertikal dan 1080 garis vertikal. Sistem
interlace (i), satu frame terbentuk oleh sapuan garis berurutan melalui
tembakan elektron ke dinding tabung, sedangkan progresif (ditandai dengan huruf
p) satu frame ditampilkan serentak berupa gambar terkompresi.
Sistem progresif yang
dikatakan lebih mulus dibandingkan dengan interlace mulai populer digunakan
pada perangkat monitor komputer. Siaran HDTV datang dengan dua format 720p dan
1080i, sedangkan untuk full HDTV saat ini hanya bisa diperoleh dari perangkat
pemutar HD DVD dan Blu-ray.
Kelebihan HDTV penuh ini
memang lebih dirasakan ketajaman detailnya, terutama pada layar berukuran di
atas 50 inci yang saat ini jumlahnya masih sedikit dan harganya juga mahal.
Pada saat ini perusahaan yang membuat layar besar adalah LG dengan layar plasma
selebar 60 inci dan 70 inci, Panasonic dengan layar 103 inci, Sharp yang semula
mengeluarkan LCD 65 inci menggeber dengan 107 inci, terbesar di dunia saat ini.
Layar besar
Jika ingin membangun sebuah
bioskop dalam rumah, jawabnya memang pada jenis proyektor. Hanya dengan
tampilan "lampu sorot" inilah kita bisa menghasilkan gambar ukuran
besar dengan harga yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan jenis plasma
ataupun LCD ukuran besar (ukuran sekitar 100 inci).
Saat ini paling tidak ada
dua tipe utama proyektor, yaitu proyektor LCD dan digital light processor (DLP)
yang harganya sudah jauh lebih rendah dibandingkan dengan lima tahun lalu.
Hanya, memang proyektor yang berkembang saat ini lebih ditujukan sebagai
perangkat presentasi kantoran dibandingkan sebagai sarana hiburan.
Dengan demikian, kualitas
warna kurang banyak mendapat perhatian. Apabila diperhatikan, warna yang tampil
di layar sering berbeda dengan warna yang ada di layar komputer. Kelemahan
lainnya adalah pada efek pelangi, warna yang berkilas-kilas pada layar sehingga
mengganggu kenyamanan pemirsa.
Penerapan teknologi memang
menghasilkan produk yang lebih murah, tetapi di sisi lain juga melemahkan
kualitas. Perbaikan kualitas secara bertahap dilakukan, termasuk mengembalikan
orientasi pada kebutuhan "bioskop rumahan", di antaranya dengan
meningkatkan kualitas resolusi full HDTV sehingga untuk kebutuhan presentasi
hanya perlu resolusi VGA ataupun XVGA.
Proyektor 1080 full HD
seperti Gand Cinema HT3000E dari SIM2 menyertakan juga teknologi BrillianColor
dari Texas Instruments. Produk ini lebih memilih tipe proyektor dengan tiga
chip DLP, serupa dengan proyektor DreamBee dari DreamVision yang mengusung
kualitas bioskop.
Selain kedua produk yang
harganya sudah sekitar Rp 200 juta atau hampir sama dengan harga televisi
plasma 70 inci atau televisi LCD 65 inci ini, masih ada produk lain yang lebih
murah harganya, seperti produk InFocus IN78 (proyektor DLP) dan Epson
EMP-TW1000 (proyektor LCD) yang sudah tentu produk-produk full HDTV ini sudah
mendukung koneksi kabel HDMI.
Teknologi lain yang seupa
adalah jenis rear projection yang lima tahun lalu sempat merajai
televisi-televisi ukuran besar. Namun, reputasinya pun menurun seiring dengan
menjamurnya televisi LCD dan plasma. Pasalnya, meskipun besar, televisi
proyeksi layar belakang ini tidak setajam jenis tabung atau kedua rivalnya yang
baru.
Yang ditunggu sekarang
adalah teknologi organic light emiting diode (OLED) yang masih dalam tahap awal
pengembangannya. Kelebihan teknologi ini adalah cara pembuatannya yang lebih
sederhana dari teknologi mana pun (artinya harga akan bisa lebih rendah), bisa
digunakan mulai dari layar ponsel sampai wallpaper elektronik atau layar
raksasa yang bisa digulung dan tanpa memerlukan cahaya belakang seperti LCD.
Sampai saat ini jenis LCD
lebih tepat untuk kebutuhan layar di bawah 42 inci, sedangkan layar di atas 42
inci lebih efisien menggunakan plasma. Plasma mempergunakan tabung-tabung gas
renik yang masing-masing membentuk piksel. Dengan demikian, tidak mengherankan
apabila plasma tidak efisien atau sulit diterapkan untuk ukuran kecil.
LCD yang terbuat dari
susunan kristal cair membuatnya bisa dibuat lebih renik dibandingkan dengan
plasma sehingga LCD bisa memberikan resolusi yang lebih rapat. Konsumsi
energinya juga lebih rendah, selain usianya juga bisa lebih lama, bahkan ketika
back-light-nya mati masih bisa diupayakan untuk diganti.
Berbeda dengan plasma,
ketika kemampuan gas mengemisikan sinar ultraviolet melemah atau bahkan mati, plasma
tidak bisa lagi digunakan. Usia televisi plasma sekitar 60.000 jam sehingga,
sebelum televisi ini tidak bisa berfungsi, sudah ada teknologi lain yang muncul
dan lebih murah tentunya.
Kelebihan plasma adalah
memiliki warna hitam yang lebih gelap dibandingkan dengan LCD, menampilkan
gambar bergerak (seperti tayangan olahraga) yang lebih baik. Kelebihan dan
kelemahan menyertai kedua jenis televisi. Meskipun demikian, keduanya lebih
dipersiapkan untuk menyongsong hadirnya tayangan HDTV dengan format layar
lebar.
Sekarang bergantung pada
kebutuhan, mau plasma, LCD, proyektor, proyektor belakang, atau bahkan hanya
televisi tabung; bergantung pada kebutuhan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar