Rabu, 16 Oktober 2013

Mencari Haryadi


(krjogja.com) FESTIVAL Seni ‘Mencari Haryadi’ yang digelar puluhan seniman Yogyakarta di depan rumah dinas (rumdin) Walikota Yogyakarta Minggu (13/10/2013), sungguh menarik untuk diperhatikan. Bukan saja menarik dari para pelaku yang kebanyakan tak diragukan lagi ‘kadar’ kesenimanannya, namun juga maksud/tujuan dari aktivitas itu. Jika disimpulkan, para seniman mewakili warga Yogya mengingatkan pemerintah agar jangan terjebak pada materialistik-kapitalistik. Mengelola Yogyakarta tetap sebagai Yogyakarta yang memiliki budaya asli. Yogya Ora Didol atau Yogya Tidak Dijual. 

Itulah seniman Yogya yang sekaligus mewakili warga Yogyakarta. Memiliki cara khas untuk mengritisi para pemimpin. Catatan sejarah membuktikan, kritik dan koreksi selalu disampaikan (oleh warga Yogya) secara santun dan konstruktif. Tinggal bagaimana para pemimpin ‘menyikapi’ hal tersebut. Apakah para pemimpin sensitif atau menebalkan telinga tak mau mendengar dan tak mau berpikir. 


Jargon ‘Yogya Ora Didol’ memiliki pesan moral yang sangat dalam. Meski sedikit terlambat, namun saat inilah rentang waktu yang tepat untuk introspeksi: Akan menjadi kota seperti apakah Yogyakarta kurun waktu 10 tahun, 20 tahun, 25 tahun, 50 tahun yang akan datang? Indikasi perubahan fisik, sudah sangat terasa dengan menjamurnya mall dan hotel yang mengakses pada industri pariwisata. Kekhawatiran akan mengubah tatanan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat bukan hantu tak berdasar. Akan tetapi menjadi premis dan antithesa yang harus serius dikaji oleh pemerintah secara benar. Negara harus berperan melindungi warga melalui kebijakan yang tidak boleh salah langkah. 

Tahun 1992, dalam Konferensi Pasific Asia Travel Association (PATA) di Nusa Dua Bali, para pakar pariwisata budaya Thailand ‘menangisi’ hilangnya karakter budaya Thai akibat eksploitasi wajah Pulau Phuket menjadi surga pariwisata dunia. Kurun waktu 10 tahun, telah meminggirkan warga Thai sekadar ‘penonton’ industri pariwisata yang naik 1.000 persen. Pelaku industri adalah jaringan internasional. Tahun 1992 (21 tahun yang lalu), Bali masih dinilai mampu mempertahankan jati diri. Namun, kini warga Bali pun terlibas. Persis nasib Phuket, sekadar penonton industri pariwisata dengan pemain jaringan internasional. Benang merahnya pun sama: materialistik dan kapitalistik. 

Kondisi dan gairah (pemerintah) Yogyakarta dalam ‘menjual’ kawasan saat ini, persis ‘kasus’Phuket dan Bali 21 tahun yang lalu. Dampak industri pariwisata pada perubahan perilaku sosial budaya, hendaknya menjadi pelajaran bagi Yogyakarta. Sesal dulu pendapat/kebijakan, sesal kemudian pasti merepotkan generasi mendatang. Jangan salah mengelola Yogyakarta, agar tetap ‘Yogyakarta’ sampai kapan pun juga. Untuk itu, negara harus selalu hadir melalui kebijakan dan kebijaksanaan pemimpin yang harus cerdas dan harus terus belajar. Sensitif berkat kemampuan berolah cipta, rasa dan karsa. 

Nyanyian warga dan seniman Yogyakarta di depan Rumdin Walikota Yogyakarta kemarin kita tahu bermakna simbolis. Spektrum dapat melebar atau mengerucut, yakni kepada para birokrat hirarki di atas walikota. Suara warga dan seniman itu, sebenarnya mewakili kegelisahan rakyat Indonesia akan banyaknya kebijakan yang tidak/kurang memikirkan dampak bagi generasi mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar