(krjogja.com) FESTIVAL Seni ‘Mencari Haryadi’ yang digelar puluhan
seniman Yogyakarta di depan rumah dinas (rumdin) Walikota Yogyakarta
Minggu (13/10/2013), sungguh menarik untuk diperhatikan. Bukan saja
menarik dari para pelaku yang kebanyakan tak diragukan lagi ‘kadar’
kesenimanannya, namun juga maksud/tujuan dari aktivitas itu. Jika
disimpulkan, para seniman mewakili warga Yogya mengingatkan pemerintah
agar jangan terjebak pada materialistik-kapitalistik. Mengelola
Yogyakarta tetap sebagai Yogyakarta yang memiliki budaya asli. Yogya Ora
Didol atau Yogya Tidak Dijual.
Itulah seniman Yogya yang
sekaligus mewakili warga Yogyakarta. Memiliki cara khas untuk mengritisi
para pemimpin. Catatan sejarah membuktikan, kritik dan koreksi selalu
disampaikan (oleh warga Yogya) secara santun dan konstruktif. Tinggal
bagaimana para pemimpin ‘menyikapi’ hal tersebut. Apakah para pemimpin
sensitif atau menebalkan telinga tak mau mendengar dan tak mau berpikir.
Jargon ‘Yogya Ora Didol’ memiliki pesan moral yang sangat
dalam. Meski sedikit terlambat, namun saat inilah rentang waktu yang
tepat untuk introspeksi: Akan menjadi kota seperti apakah Yogyakarta
kurun waktu 10 tahun, 20 tahun, 25 tahun, 50 tahun yang akan datang?
Indikasi perubahan fisik, sudah sangat terasa dengan menjamurnya mall
dan hotel yang mengakses pada industri pariwisata. Kekhawatiran akan
mengubah tatanan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat bukan hantu tak
berdasar. Akan tetapi menjadi premis dan antithesa yang harus serius
dikaji oleh pemerintah secara benar. Negara harus berperan melindungi
warga melalui kebijakan yang tidak boleh salah langkah.
Tahun
1992, dalam Konferensi Pasific Asia Travel Association (PATA) di Nusa
Dua Bali, para pakar pariwisata budaya Thailand ‘menangisi’ hilangnya
karakter budaya Thai akibat eksploitasi wajah Pulau Phuket menjadi surga
pariwisata dunia. Kurun waktu 10 tahun, telah meminggirkan warga Thai
sekadar ‘penonton’ industri pariwisata yang naik 1.000 persen. Pelaku
industri adalah jaringan internasional. Tahun 1992 (21 tahun yang lalu),
Bali masih dinilai mampu mempertahankan jati diri. Namun, kini warga
Bali pun terlibas. Persis nasib Phuket, sekadar penonton industri
pariwisata dengan pemain jaringan internasional. Benang merahnya pun
sama: materialistik dan kapitalistik.
Kondisi dan gairah
(pemerintah) Yogyakarta dalam ‘menjual’ kawasan saat ini, persis
‘kasus’Phuket dan Bali 21 tahun yang lalu. Dampak industri pariwisata
pada perubahan perilaku sosial budaya, hendaknya menjadi pelajaran bagi
Yogyakarta. Sesal dulu pendapat/kebijakan, sesal kemudian pasti
merepotkan generasi mendatang. Jangan salah mengelola Yogyakarta, agar
tetap ‘Yogyakarta’ sampai kapan pun juga. Untuk itu, negara harus selalu
hadir melalui kebijakan dan kebijaksanaan pemimpin yang harus cerdas
dan harus terus belajar. Sensitif berkat kemampuan berolah cipta, rasa
dan karsa.
Nyanyian warga dan seniman Yogyakarta di depan
Rumdin Walikota Yogyakarta kemarin kita tahu bermakna simbolis. Spektrum
dapat melebar atau mengerucut, yakni kepada para birokrat hirarki di
atas walikota. Suara warga dan seniman itu, sebenarnya mewakili
kegelisahan rakyat Indonesia akan banyaknya kebijakan yang tidak/kurang
memikirkan dampak bagi generasi mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar