Rabu, 19 Maret 2014

Kisah Seorang Kitman


Siang itu langit Yogya diselimuti mendung. Awan hitam sudah beriringan, menandakan sebentar lagi Kota Pelajar akan diguyur hujan. Meski begitu, niat mengunjungi Maguwoharjo Internasional Stadium (MIS) tak surut.

Hari itu memang tak ada pertandingan. PSS sudah menuntaskan semua pertandingannya, dan keluar sebagai juara Divisi Utama LPIS 2013. Lalu untuk apa saya ke stadion?

Saya hanya hendak bertemu seorang kawan. Surya namanya, atau lebih akrab dengan sapaan 'Kuda'. Tak banyak yang kenal dirinya. Popularitasnya jelas kalah jauh dengan nama besar suporter Sleman yang kreatif itu. Namun, soal sumbangsih untuk tim, tak perlulah anda menyangsikan Kuda.

Setelah melewati tangga melingkar yang menjadi landmark MIS, saya akan sampai di mess pemain, tempat di mana saya dan Kuda sudah sepakat untuk bertemu.

Gerbang mess pemain tak terkunci. Saya langsung masuk. Pun dengan mayoritas kamar mess, banyak yang masih tertutup. Hanya satu yang terbuka. Tak perlulah saya menelepon atau mengirim pesan singkat untuk bertanya di mana keberadaan Kuda. Pastilah ia ada di kamar yang pintunya terbuka.

Tebakan saya tidak salah. Ia berada di dalam. Duduk bersandar pada sofa dekat jendela dengan bertelanjang dada. Tampak kelelahan setelah membersihkan seisi mess.

Sembari memainkan ponsel pintarnya, ia pandangi hijaunya rumput stadion yang tanpa penghuni itu. Tampak sebuah kerinduan yang mendalam pada suasana riuh rendah stadion. Maklum, jeda kompetis di level kedua memang lebih lama daripada liga kasta pertama.

"Beginilah. Saat tak ada pertandingan, praktis hanya saya menghuni stadion ini," ujarnya menyambut kedatangan saya. Sembari merapikan ruang mess yang masih berantakan, saya dipersilakan duduk.

Kurang lebih begitulah kerja kitman di negeri ini. Sangat jauh dari hingar bingar kemegahan sebuah liga. Jauh pula dengan kemewahan nama-nama besar kitman di liga-liga top Eropa. Di negeri ini, seorang kitman tak mungkin seberuntung Albert Morgan, kitman Manchester United, yang bahkan bisa menjadi bintang iklan NIKEpro berdampingan dengan Cristiano Ronaldo.

Di negeri ini, kitman umumnya disebut dengan pembantu umum. Sesuai dengan namanya, ia pun melakukan banyak hal. Semua pekerjaan umum, dikerjakan oleh si pembantu: menyiapkan bola, rompi, cones, danjersey. Itulah kerja kitman.


Namun bagi pembantu umum, tugas-tugas seperti mencuci perlengkapan pemain dan pelatih, menjaga kebersihan mess, dan menjaga keamanan mess adalah pekerjaan tambahannya. Itu belum ditambahi dengan pekerjaan tetek-bengek lainnya. Surya pernah sekali waktu menjadi measure saat PSS menjalani tur Sulawesi, lantaran PSS tak mampu memberangkatkan semua ofisial dan pemain. Pun ia juga sering menjadi "pemain ke-12", memanjatkan doa di belakang gawang tim lawan saat PSS mengalami kebuntuan.

Banyaknya tanggung jawab tak membuat upah yang diterima Kuda menjadi bertambah banyak. Upahnya sama saja. Ya, mungkin inilah potret sepakbola kita. Terlalu banyak tumpang tindih pekerjaan. Bayangkan saja, di tubuh sebuah tim saja distribusi pekerjaan masih belum ada kejelasan. 

Syahdan, pada medio 2006, Surya Kuda hanyalah seorang sopir pemerintah daerah (Pemda) Sleman. Sebagai sopir, tugas utamanya adalah mengantarkan para aparat negara menunaikan tugasnya ke mana saja.

Saat itu ia belum terlalu suka dengan sepakbola. Namun hal tersebut berbalik 180 derajat ketika Gaston Castano dan Coach Horacio Albertus Montes datang ke Sleman. Kenapa? Karena saat itu pula Surya dipindahtugaskan menjadi sopir legiun asing itu. Tingginya intensitas pertemuan dengan pemain dan pelatih itu, lambat laun menanamkan benih cinta pada sepakbola.

Surya mulai sering datang ke lapangan. Awalnya ia hanya menunaikan tugasnya untuk mengantar para legiun asing, namun lambat laun ia ketagihan berlama-lama di stadion dan mess pemain. Gaston dan Horacio mengajarkan Kuda tentang keindahan sepakbola. Dan Kuda, mengajari keduanya berbahasa Indonesia.

Kecintaannya pada sepakbola lebih dalam lagi saat Rudy William Keltjes ditunjuk untuk menangani PSS, menggantikan Coach Horacio. Ia sering mengamati Keltjes melatih -- dan sesekali juga ikut latihan dengan para punggawa "Elang Jawa".

Musim 2008/2009, peraturan baru terbit. Semua tim yang berada di bawah PSSI harus melepaskan diri dari APBD. Jelas, hal tersebut membuat kelimpungan banyak tim. Tak terkecuali dengan PSS Sleman, yang biasa menggantungkan hidupnya pada APBD.

Peraturan tersebut pun berdampak pada Surya. Ia yang sebelumnya mengabdi pada Pemda, kala itu harus menentukan sikap. Memilih ikut PSS atau Pemda. Tak perlu waktu lama, Surya memilih mengabdi pada PSS walau gajinya tak sebesar jika ikut Pemda.

"Waktu itu pilihannya sulit. Ikut PSS atau ikut Pemda," ujarnya menerangkan. "Tapi karena PSS banyak ditinggal ofisialnya ke Pro Duta, saya memilih bantu-bantu PSS saja. Walaupun gajinya tak seberapa, tapi saya sudah terlanjur cinta PSS."


Begitulah sepakbola. Kecintaan terhadap sebuah tim memang susah ditakar oleh nalar.

Dengan banyaknya pos yang ditinggalkan ofisial PSS, Surya naik jabatan. Ia tak sekadar menjadi sopir, namun juga diangkat menjadi pembantu umum. Pekerjaannya tambah banyak. Namun upahnya justru turun. Upahnya kala itu hanya Rp 750.000, setengah dari gaji ofisial Pro Duta FC yang kala itu juga bermarkas di MIS.

"Bonus pemain yang musim sebelumnya Rp 2 juta per match saja dipangkas menjadi Rp 180 ribu. Apalagi saya yang cuma pembantu umum," gerutunya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

Pernyataannya itu seakan mencerminkan bagaimana kondisi keuangan PSS saat itu. Kala itu PSS seperti bayi yang baru belajar berjalan. Berjalan dengan sempoyongan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena PSS terlalu lama disusui oleh APBD. Begitu asupan APBD disetop, praktis PSS gelagapan dan nyaris kehabisan nafas.

Walaupun tetap ada saja yang menyaksikan pertandingan PSS, namun saat itu jumlahnya tak sebesar seperti sekarang. Pendapatan dari penjualaan tiket pertandingan tak mampu menutupi biaya operasional pertandingan.

Jika biaya operasional pertandingan saja minus, bagaimana dengan gaji pemain? Gaji pemain saat itu sering nunggak, gaji Surya pun begitu. Para pemain lebih sibuk mencari pertandingan tarkam, yang bayarannya jelas, daripada ikut latihan tim resmi.

Dengan tipisnya skuat PSS, hal tersebut lantas menambah beban pekerjaan Kuda. Ia bersama Pak Rumadi (Manajer PSS Sleman saat itu) berkeliling Sleman untuk mencari bibit-bibit pesepakbola handal di seantero Sleman.

Surya adalah Surya, bukan pemandu bakat yang berbakat. Pemain yang ia temukan ternyata belum mampu beradaptasi dengan kerasnya Liga Indonesia. Alhasil, PSS kala itu adalah PSS yang rajin menelan kekalahan. Namun tak apa, walaupun dengan pemain seadanya, minimal PSS tak terkena sanksi PSSI karena masih sanggup menyelesaikan satu musim kompetisi.

Setelah lepas dari ancaman tak dapat menyelesaikan liga lantaran di tinggal pemainnya, pada musim berikutnya Kuda mendapat tugas tambahan: menjalin kedekatan personal dengan para pemain. Tugas ini diberikan pada Kuda untuk mengantisipasi kejadian pada musim sebelumnya di mana para pemain kabur satu per satu.


Semakin lama waktu semakin dekat pada pukul 13.30. Surya mulai sering mengecek ponselnya. Ia memang punya tugas untuk menjemput Coach Sartono Anwar pada jam 14.00. Namun pesan singkat dari sang pelatih baru itu tak juga menghampiri ponselnya. Ia pun meneruskan cerita.

"Soal jadi kitman, dulu sewaktu PSS tak punya uang, saya sering memeras jersey pemain saat jeda waktu. Ketika para pemain mendengarkan instruksi dari pelatih, saya sibuk memukul-mukulkan jersey pemain yang basah pada tembok. Agar pemain tetap merasa nyaman saat menjalani babak kedua," ujarnya melanjutkan cerita.

Hal tersebut dikarenakan pada masa itu PSS selalu memesan jersey pada vendor dengan waktu yang sangat mepet dengan deadline transfer pemain. Manajemen tak berani berspekulasi memesan jersey pada vendor sebelum skuatnya jelas. Hal ini dilakukan untuk menekan biaya produksi kostum.

Akibatnya, stok jersey sangat amat terbatas. Boro-boro mau ganti pakaian di babak II, melewati satu putaran saja bisa hanya punya 2 setel jersey: 1 kandang, 1 tandang. Maka Kuda harus bekerja keras memeras kaus, memukul-mukul atau membanting-bantingnya ke tembok, saat pemain sedang istirahat dan mendengarkan instruksi pelatih menjelang babak II.

Beruntunglah saat ini PSS sudah memiliki sebuah store yang menyediakan jersey dengan berbagai ukuran. Tak perlu diminta, jika Surya butuh jersey, tinggal comot saja di toko yang letaknya tak jauh dari stadion.

Itulah sekelumit cerita Surya Kuda. Selama bertahun-tahun, ia mengabdikan dirinya dan menghabiskan waktu di stadion Maguwoharjo Internasional Stadium. Ia memang tak mungkin melakukan sebuah hal besar bagi klub layaknya Anang Hadi ataupun Sartono Anwar. Namun, ia telah melayani klub dan dekat dengan sesama anggota tim untuk menjadikan PSS Sleman semakin besar.

Ya, di balik sebuah tim hebat, pasti ada pembantu umum hebat di belakangnya.


sumber detiksport

Tidak ada komentar:

Posting Komentar