Selasa, 25 Maret 2014

Silvio Berlusconi dan AC Milan sebagai Tonggak Industri Sepakbola Italia [Bagian 1]

thumbnail


Roda dan nasib selalu berputar. Bagi AC Milan yang lebih sering ada di atas, mereka kini bak berada di bagian bawah roda. Malangnya, roda itu tengah direm oleh sopir pengendali nasib.

Serie A musim 2013-2014 akan terukir dalam sejarah sebagai salah satu musim terburuk Milan dalam 20 tahun terakhir. Kejayaan dinasti klub dengan tradisi juara dan langganan final Liga Champions itu runtuh. Rossoneri akhirnya merasakan bagaimana rasanya terpuruk.

Milan tak terdegradasi memang. Namun, terlemparnya mereka dari Liga Champions, dan bahkan sulit untuk sekadar bertarung di Europa League musim depan, jelas membuat tim ini layak dicap buruk dan terpuruk. Musim depan adalah kali pertama Milan hanya bertanding di liga dan kompetisi domestik. Titik nadir Milan, karena mereka selalu tampil di kompetisi Eropa sejak musim 1997-1998.

Lalu, siapakah yang harus disalahkan?

Umumnya, yang pertama diminta pertanggungjawaban adalah pemain dan pelatih. Saat ini, mulai dari Massimiliano Allegri, Clarence seedorf hingga Mario Balotelli, yang disebut tak mau berjuang 100%, dituntut oleh para suporter. Tapi itu jika hanya memandang musim ini sebagai musim yang terisolir dengan tahun-tahun sebelumnya.

Jika masalah ini diturunkan, dan semakin memburuk dari musim ke musim, adakah kekuatan lebih tinggi lain yang bisa diminta penjelasannya?

Kalau memang keterpurukan tim dikarenakan pemain dan pelatih yang kurang mumpuni dan tidak kompeten, maka yang mendatangkan mereka-lah yang lebih pas untuk dipertanyakan, yaitu manajemen klub. Lalu, pertanyaan ini akan bermuara pada presiden atau pemilik klub tersebut.

Di Milan, mau tak mau Silvio Berlusconi, sang pemimpin dinasti, menjadi pesakitan. Tapi apa benar demikian? Apa salah Berlusconi hingga Milan kini terpuruk?

Jika dirunut dari saat Berlusconi membeli Milan pada 10 Februari 1986 hingga kini, menyalahkan Berlusconi bisa jadi bumerang bagi Milanisti. Ia adalah otak dan tulang punggung dari kejayaan Milan selama nyaris 30 tahun terakhir. Di bawah kepemimpinan Berlusconi, Milan telah mendapatkan prestasi tujuh scudetto dan lima gelar Liga Champions.

Apalagi sebelum ia mau mengucurkan dananya untuk membeli Milan dari Giussepe Farina, Milanisti malah 'mengemis' padanya untuk menyelamatkan klub itu.



Milan Mencintaimu, Silvio

Sebelum membeli Milan, Berlusconi sudah jadi jutawan kota Milan yang terkenal karena bisnis real estate-nya yang sukses besar. Holding company miliknya, Fininvest SpA, kemudian melebarkan sayap ke bisnis media massa. Lagi-lagi ia untung dan sukses. Bisnisnya ini, terutama televisi kabel, berkembang pesat sehingga pada 1980 mampu membeli hak siar turnamen untuk merayakan 50 tahun Piala Dunia, Mundalito Uruguay. Pada 1984, tiga stasiun televisi berskala nasional pun sukses ia kuasai.

Sementara di pihak AC Milan, kondisi keuangan mereka tengah krisis berat. Farina, yang datang pada tahun 1982 untuk mengangkat Milan dari Serie B dan mengembalikan klub ini ke habitatnya, ternyata tak memiliki kantong tebal seperti yang disangka banyak orang.


Pembelian Ryan Wilkins dari Manchester United untuk menaikkan pamor Milan malah membuat mereka terbelit. Dalam tiga tahun, utang Milan melonjak tiga kali lipat. Gaji pemain Milan tak terbayar, sementara bos MU, Martin Edwards, terus menagih sisa pembelian Wilkins sebesar 600 ribu poundsterling.

Farina kemudian mengundang Berlusconi dan Fininvest-nya untuk bernegosiasi dan menjelaskan posisi keuangan Milan. Beberapa pekan setelahnya, Farina kabur ke luar negeri dan ia menjadikan Rosario Lo Verde, yang sudah berusia 71 tahun, sebagai tameng berupa presiden sementara.

Berlusconi cerdik. Ia menunggu sampai Milan menyerah dengan harga rendah. Menunggu pemberitaan media Italia –yang berarti berasal dari medianya juga—bahwa ia dibutuhkan Milan. Pada sisi lain Berlusconi juga menunggu kontrak hak siar Serie A yang muncul di Januari.

Pada pertandingan pekan-pekan awal tahun 1986, apa yang diinginkan Berlusconi terjadi. Curva Sud San Siro, bagian tribun favorit Milanisti, penuh dengan poster agar sang juru selamat segera mengakuisisi Milan. "Silvio, Milan mencintaimu"; "Silvio selamatkan kami dari lembah hina"; "Silvio, bubarkan sarang penyamun di klub kami"; dan kalimat-kalimat meminta sejenisnya. Entah di-setting atau tidak.

Berlusconi kemudian menyodorkan dana sebesar 40 juta lira. Mahar sebagai bukti kepemilikan Milan. "Ini bukti cinta saya kepada Milan," kata Berlusconi saat resmi menjadi presiden ke-20 klub tersebut.

Bukan Konservatif

Di tangan Berlusconi, Milan dipermak laksana media. Hot, glamor, dan tertata rapi. Tapi di sisi lain, Milan juga jadi pemancing iklan dan merek dagang. "Milan memang sebuah kesebelasan sepakbola. Tapi ia juga produk yang bisa dijual. Sesuatu yang bisa ditawarkan pada pasar," jelas Berlusconi mengenai sistemnya dalam menjalankan Milan.


Perkenalan skuat dan jajaran klub pramusim 1986-1987 dibuat mentereng. Mereka diturunkan dari helikopter di Arena Civica 8 Juli 1986. Budaya di klub tersebut berubah total dengan sisi bisnis yang kemudian dibuat mengakar.

"Saya masih ingat jelas saat itu. Bukan masalah helikopter saja. Tapi lebih kepada perasaan akan ada perubahan besar di klub dan semuanya tak akan pernah sama lagi seperti musim sebelumnya," kenang Franco Baresi tentang awal-awal musim di bawah Berlusconi.

Berlusconi boleh dibilang inisiator agar klub menjadi bagian dari industri sepakbola modern. Di tangannya, Milan adalah klub yang menerapkan strategi bisnis dan semangat kewirausahaan.

Jika klub Italia lainnya, atau bahkan juga Eropa, kala itu masih konservatif, Berlusconi lebih visioner dan agresif. Ia tidak puas jika hanya jadi orang kaya yang berbuat amal. Ia tidak mau jika hanya menghamburkan uang membeli pemain mahal, hanya untuk membeli hati suporter. Kepemimpinannya di Milan bukan untuk membuat martabat keluarganya naik tinggi dan tetap di atas. Berlusconi ingin lebih. Milan harus jadi maju secara keuangan. 

Maka dijadikanlah Rossoneri cabang dari bisnis Fininvest.

Tonggak Industri Sepakbola

Investasinya dengan membeli pemain mahal saat itu, seperti trio Belanda, berbuah hasil. Milan merebut scudetto setahun setelah mendatangkan Marco van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard. Tapi, prestasi juara pada 1987-1988 ini hanyalah secuil dari yang diinginkannya. Baginya ini adalah tonggak awal untuk menjadikan Milan sebagai klub industri dan tim yang berpengaruh dalam sejarah sepakbola.

Ia tahu betul bahwa loyalitas suporter tetaplah bermuara prestasi klubnya. Apapun akan dilakukan suporter selama klubnya jadi juara. Dengan media-media di bawahnya, fanatisme buta ini pun dimanfaatkannya.

Kantor media officer AC Milan menjadi pusat operasi sepak terjang Berlusconi. Kalau jurnalis suatu media dituntut untuk mencari berita, wartawan-nya Berlusconi tidak. Mereka bukan mencari, tapi membuat berita dan merekayasa berita untuk menyerang wasit, mengatur pertandingan, hingga menjatuhkan media pesaing Berlusconi.

Dengan pemberitaan Milan yang selalu bagus di mata Milanisti, Berlusconi pun dengan mudah menjadikan suporter sebagai konsumen. Ia kemudian mengenalkan tiket terusan dengan bahasa yang halus, "konsep kesetiaan". Data pribadi mereka harus dicantumkan untuk pengawasan dan kemudahan layanan.


Terlihat seperti terobosan baru dan memanjakan suporter, memang. Namun sejatinya data pribadi pemegang tiket terusan itu diolah oleh Fininvest sebagai sasaran target pemasaran produk-produk lainnya. Belakangan, data ini dijadikan untuk keperluan politik Berlusconi yang maju mencalonkan diri sebagai perdana menteri.

Semakin AC Milan berprestasi, makin untung Berlusconi. Milan kian bersinar, cengkeraman Fininvest makin melebar.

Hal itu kemudian memantik klub-klub Eropa lain untuk mempelajari kesuksesan Milan. Gelar Liga Champions dua kali berturut-turut di musim 1988-1989 dan 1989-1990, di bawah kepelatihan Arrigo Sacchi, kembali diamati oleh banyak klub lain.

Klub-klub peserta Liga Champions pun berlomba mendatangkan pemain nomor wahid dunia untuk menandingi Milan. Dari gambaran ini, boleh dibilang bahwa sedikit banyak Berlusconi tak cuma membangun Milan. Ia membangun sepak bola dengan level tinggi di Eropa.

Inggris, negara yang selalu mengaku penemu sepak bola, sampai-sampai menjiplak habis ide Berlusconi dan menjadikan AC Milan sebagai prototype liga mereka. Liga Inggris kemudian di-install ulang dua tahun setelah Milan menjadi juara Champions dua kali berturut-turut. Premier League pun dibangun dari awal dengan ide-ide Berlusconi; uang, televisi, dan klub sebagai sebuah brand. Semuanya bermuara jadi industri sepakbola.

Tapi, ibarat roda berputar, kini semuanya terbalik.

Berlusconi mulai menerapkan apa yang dulu enggan dilakukannya. Milan dikembalikan ke habitat asli klub Italia; dijalankan keluarga dan penopang martabat keluarga. Putrinya yang jauh dari bisnis dan sepakbola disiapkan jadi penerusnya. Barbara Berlusconi yang lulusan filsafat Vita-Salute San Raffaele University didapuk sebagai Direktur klub pada 2011 dan dipromosikan menjadi CEO pada 2013.

"Barbara bekerja dengan baik atau tidak, itu tergantung orang-orang di sekelilingnya. Tapi, dalam pendapat saya, Barbara bukanlah orang yang paham akan sepakbola," cibir Paolo Maldini tentang keterpurukan Milan yang ditengarai karena penunjukan Barbara.


Industri sepakbola Inggris pun makin maju dan malah berbalik menjadi rujukan klub-klub Italia. Gencarnya serbuan uang untuk mengakuisisi klub dari Amerika dan Asia di Inggris mulai diterima Italia. Mereka ingin semaju klub-klub Inggris, meskipun awalnya klub negeri Ratu Elizabeth itu menjadikan AC Milan sebagai model.


AS Roma dan Inter Milan sudah membuka diri. Roma pada 2011 lalu menjual sahamnya kepada James Pallotta, yang merupakan investor klub NBA, Boston Celtics. Sementara Inter juga menyusul Roma dengan menjual sahamnya kepada pengusaha Indonesia, Erick Thohir.

Tapi Berlusconi menutup mata dengan semuanya. Ia tetap yakin, Milan akan tetap menjadi klub industri yang disegani di dunia sepakbola di bawah kendali Barbara. Tanpa investor Amerika dan Asia. 

Kalaupun kini klub terpuruk, Berlusconi masih pongah dengan sejarah dan prestasi yang diantarkannya untuk Rossoneri. "Milan seharusnya mendedikasikan sebutan stadion atas nama saya. Saya memberikan mereka piala lebih banyak daripada yang diraih Bernabeu," ujarnya tegas.


Sumber detikcom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar