Masih ingat dolanan saat kita masih kecil dan biasanya dilakukan pas terang bulan ini? Lagu dolanan anak-anak di Jawa, karya Sunan Giri (1442M) ini berisi syair ‘sanepo’ (simbol) yg sarat makna, tentang nilai-nilai keutamaan hidup manusia. Beberapa anak ikut bermain, satu anak duduk telungkup seperti posisi sujud dan memejamkan matanya sementara anak-anak lainnya duduk mengitarinya lalu tangan anak-anak tersebut dalam posisi menengadah menunggu giliran sebuah batu kerikil yang nanti akan jatuh dalam salah satu genggaman tangan seorang anak. Sambil menggilir batu tsb anak-anak menyanyikan lagu ini :
Cublak-cublak suweng
Suwenge ting gelenter
Mambu ketundung gudhel
Pak gempo lerak-lerek
Sopo ngguyu ndelekakhe
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong
Selesai menyanyi lagu itu, anak yang telungkup bangun dan disuruh menebak siapa yang menggenggam batu tsb. Si anak yang telungkup bila salah menebak maka dia akan disuruh telungkup lagi dalam fase permainan berikutnya.
Permainan ini pastilah sudah lama kita tinggalkan. Namun tanpa kita sadari sampai kita dewasa pun kita masih melakukan ’permainan’ ini. Dalam kehidupan sehari-hari. Permainan anak-anak yang akrab bagi masyarakat Jawa ini ternyata mengandung banyak makna dan mengajarkan kehidupan sedari kecil. Konon (katanya) permainan ini awalnya dikenalkan oleh Walisongo.
Banyak versi lirik lagu ”Cublak-cublak Suweng” di Jawa. Mungkin tergantung nenek moyang dan dialek setempat, Tegal dan Pekalongan yang bersebelahan saja bisa berbeda lirik lagunya. Dalam satu kota saja bisa beda versi, yang jelas secara garis besar sama dan kurang lebih maknanya juga sama.
Apa sebenarnya makna dari dolanan bocah cilik ini?
Dari lirik lagunya bila dalam kiasan bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini:
Permainan ini memang mengajari tentang pencarian harta dalam hidup. Dari lirik lagunya ”cublak-cublak suweng” …suweng artinya hiasan di telinga, lebih berharga daripada anting…identik dengan harta. Bisa diartikan ayolah ”tebak tempat menyimpan harta”
”Suwenge ting gelenter” maksudnya hartanya tersebar dimana-mana.
Hal ini terlihat pula dalam permainannya dimana anak-anak menyembunyikan batu kerikil (diibaratkan suweng) lalu beredar dari satu tangan ke tangan yang lain (”suwenge ting gelenter”)
”Mambu ketundung gudhel” = mambu artinya tercium, ketundung artinya yang dituju, sedangkan gudhel artinya anak kerbau….mengapa anak kerbau, bukan kerbaunya? Anak kerbau identik dengan kebodohan(karena masih berwujud anak, yang belum matang alias belum tahu apa-apa). Secara garis besar kabar tentang tempat harta ini mudah tercium (tersiar) oleh orang-orang bodoh.
”Pak Gempo lerak-lerek” = Pak Gempo melirik-lirik (mencarinya). Pak Gempo digambarkan sebagai kebalikan dari gudhel yang masih berwujud anak. Makanya menggunakan kata awalan ’Pak’. Pak Gempo adalah sosok manusia yang telah dewasa dan berusaha mencari harta (’suweng’) tsb. Pak Gempo diwujudkan sebagai manusia yang berakal, beda dengan’gudhel’ yang hanya anak hewan yang identik dengan kebodohan. Sehingga dianggap Pak Gempo bisa mencari harta tsb. Dalam permainan wujud Pak Gempo adalah anak yang bermainan dalam posisi sujud dan akhirnya dia harus menebak siapa yang menyimpan batu kerikil tsb.
”Sopo ngguyu ndelekakhe” = Siapa yang tertawa pasti menyembunyikan. Di permainannya kita tahu bahwa anak-anak yang lain (yang tidak telungkup) pasti tertawa saat anak yang telungkup berusaha menebak siapa yang menyimpan batu kerikilnya.
” Sir-sir pong dele kopong” = di dalam hati nurani yang kosong. Suatu petunjuk bagi yang ingin mencari harta/menebak di permainan bahwa untuk mencari pelakunya gunakanlah hati nurani.
Bisa ditafsirkan secara garis besar makna dari lagu dan permainan ini adalah sebagai berikut:
Kita sebagai manusia biasa yang tercipta dari tanah. Makanya dalam permainan seorang anak harus telungkup mencium tanah seolah sedang sujud. Hanya manusia biasa yang tak tak tahu apa-apa. Namun manusia tetap ada hasrat nafsu sebagaimana nabi Adam dikeluarkan dari surga karena mencium wanita. Manusia mempunyai hasrat nafsu harta, tahta dan wanita. Dalam lagu daerah ini manusia tetap memenuhi hasratnya untuk mencari harta (”cublak-cublak suweng”). Namun harta tercecer dimana-mana dan semua orang pasti menginginkannya. Begitu mudahnya tercium ’bau’ harta sampai orang tak berilmu pun tahu, kita tahu bahwa setiap hari ada maling, copet, koruptor yang mengincar harta. Zaman sekarang istilah koruptor identik dengan ”tikus” yang sama saja binatang atau ”gudhel” dalam lagu ini. Berarti zaman lagu dan permainan ini ditemukan, sudah diajarkan kepada masyarakat bahwa kita harus was-was akan bahaya koruptor.
Dan kita tahu tampang para koruptor seperti apa, biasanya mereka selalu senyum mesem-mesem (”sopo ngguyu ndelekakhe”). Lihatlah tampangnya para koruptor yang tetap saja nyengir meskipun sudah dipanggil KPK.
Cara terbaik untuk mencari harta adalah dengan hati nurani yang bersih. Tidak dipengaruhi hawa nafsu dsb. Dengan hati nurani akan lebih mudah menemukannya, tidak tersesat.
Ternyata memang luar biasa makna permainan Jawa yang diajarkan Sunan Giri ini. Walisongo memang telah mengajarkan mengenai suatu perjalanan hidup setiap manusia sehari-hari. Setiap hari kita mencari harta, harta tak hanya berupa kekayaan bisa berupa ilmu, jabatan, dan setiap pemuas kebutuhan hidup manusia. Permainan ini diajarkan penyebar Islam di tanah Jawa sehingga pastilah berlandaskan Islam, untuk mencari harta janganlah menuruti hawa nafsu tetapi semuanya kembali ke hati nurani.
Kemungkinan maksud Walisongo mempopulerkan permainan rakyat ini untuk menanamkan hati nurani yang ikhlas bila kita hendak mencari harta. Kembali kepada nilai-nilai islami, seperti sedekah untuk mencari harta yang banyak bukan dengan jalan pintas (korupsi). Harta yang dicari dengan jalan cepat akan hilang dalam waktu cepat pula.
Tak disangka sungguh dalam maknanya permainan bocah cilik yang biasanya kita mainkan sore hari atau di bawah terangnya sinar rembulan ini.
Patut dibanggakan dan dilestarikan dolanan bocah cilik ini. Anak sekarang mungkin sudah tak mengenalnya lagi karena kecanggihan tekhnologi, mereka sudah tak mengenal permainan rakyat.
Sebaiknya kita ajarkan lagi permainan rakyat ini kepada anak, cucu, keponakan, tetangga dsb agar tak ’lenyap’ begitu saja dari bumi pertiwi.
Dan jangan sampai terjadi bila tiba-tiba kita pun harus menjerit marah karena dolanan ini tiba-tiba diakui oleh negeri jiran. Sebelum diambil negeri manapun, kita tetap lestarikan dolanan dan lagu daerah yang telah kita kenal sejak kecil ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar