Selasa, 08 April 2014

Makna Lagu Gundul Pacul


Pasti kenal donk dengan lagu anak-anak jadul 'Gundul-Gundul Pacul' ?? Ya! Lagu yang sering kita nyanyikan waktu masih kecil dulu. Apa lagi kalau liat temen atau orang yang kepalanya plontos alias gundul, langsung dah nyanyi gundul-gundul pacul.
Tembang Jawa ini diciptakan tahun 1400 an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja dan mempunyai arti filosofis yg dalam dan sangat mulia.

Tembang dolanan mengisyaratkan bahwa para wali yang menciptakannya, amat peduli terhadap anak-anak. Sedangkan suluk-suluk tembang macapat dengan orkestra gamelan Jawanya yang meditatif-kontemplatif, mencerminkan Walisongo yang menciptakannya juga memiliki jiwa yang lembut serta kemampuan dan selera seni-budaya yang tinggi. Sungguh sulit membayangkan betapa luar biasa kemampuan para ulama-ulama awal tersebut, dengan melihat karya-karya peninggalannya yang masih eksis bahkan berkembang sampai sekarang. Demikian pula keberhasilannya mengislamkan penduduk pulau Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, sehingga kini menjadi negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Pasti, mereka memperoleh anugerah hidayah dan kunci-kucil pembuka perbendaharaan ilmu.

Jika Sunan Bonang (lihat berbagai tulisan sebelumnya tentang Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, khususnya: “Memahami Suluk-Suluk Sunan Bonang”), mengarang tembang-tembang suluk yang serius dengan kandungan tasawuf yang kental, Sunan Giri yang justru termasuk “Islam Putihan”, mengarang berbagai tembang dolanan yang jenaka dan riang gembira. Sedangkan Sunan Kalijaga membuat keduanya, suluk yang serius meditatif-kontemplatif maupun yang gembira pengobar semangat. Meskipun tembang dolanan, tetap saja suluk tersebut penuh dengan kandungan dakwah dan filosofi yang tinggi.
Salah satu tembang dolanan yang populer di masyarakat adalah “Gundul-Gundul Pacul”.           
Teks versi lain yang sedikit berbeda yaitu:
Gundul-gundul pacul-cul, gelelengan
Nyunggi-nyunggi wakul-kul, gelelengan
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar.

Perbedaan ada di kata gelelengan dan gembelengan, namun keduanya memiliki arti yang sama. Perbedaan yang lain adalah kata ratan dengan latar. Ratan berarti jalan atau jalanan, sedangkan latar berarti halaman rumah. Tapi ternyata susah juga menterjemahkan syair tembang tersebut, kecuali diartikan lebih dulu kata per kata sebagai berikut:
-   gundul = kepala yang tidak ada rambutnya sama sekali, biasanya karena dicukur habis.
-   pacul = cangkul.
-  gelelengan, gembelengan = sikap atau cara berjalan sambil menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan ke kanan, menandakan kesombongan.
-  nyunggi = membawa sesuatu dengan menaruhnya di atas kepala.
-  wakul = bakul atau tempat nasi.
-  ngglimpang = terguling.
-  segane dadi sak ratan/latar = nasinya tumpah tersebar memenuhi jalanan/halaman rumah.

Dengan begitu bisa digambarkan, seseorang yang berkepala gundul tanpa rambut, membawa cangkul dan “menyunggi” bakul nasi di atas kepalanya, berjalan “gembelengan”. Akibatnya bakulnya tumpah dan nasinya tersebar mubazir memenuhi jalan. Apa makna dari itu semua? Ada dua hal yang perlu kita lihat terlebih dulu sebelum mengupas kandungan maknanya.

Pertama, sang pencipta yaitu Sunan Kalijaga, adalah putera Adipati Tuban yang kecewa dengan kehidupan  feodal kerajaan Majapahit yang tidak amanah bahkan cenderung “menindas’ rakyat. Para punggawa kerajaan termasuk di lingkungan kadipaten Tuban dianggapnya congkak serta tidak peduli dengan kesulitan hidup rakyat kecil. Karena itu jiwanya berontak dan sering melakukan tindakan yang berlawanan dengan ayahanda dan para punggawanya, sampai kemudian ia berjumpa dan berguru kepada Sunan Bonang.

Kedua, pada saat yang bersamaan, Sunan Kalijaga juga menggubah sendiri dan selanjutnya menyisipkan dalam cerita wayang Mahabarata, kisah jamus kalimasada (dua kalimat syahadat) yang merupakan senjata paling ampuh, hebat tiada tara yang dimiliki oleh Raja Kerajaan Amarta – Prabu Puntadewa. Uniknya, Prabu Puntadewa ini adalah satu-satunya raja yang tidak memakai mahkota serta perlengkapan pakaian kebesaran lainnya yang lazim dikenakan oleh seorang raja. Ia hidup dan berpenampilan sederhana sebagaimana seorang ksatria biasa dengan rambut digelung di atas kepalanya. Muka dan kepalanya pun dilukiskan menunduk sebagai cerminan kerendahaan hati. Kecuali pernah melakukan kesalahan dengan berjudi mempertaruhkan kerajaannya sampai kalah dan terusir terlunta-lunta, kehidupan selebihnya suci bersih. Demikian pula hatinya, selalu ikhlas, jujur dan tidak pernah berbohong sehingga karena itu darahnya diceritakan berwarna putih.

Puntadewa adalah contoh pemimpin yang sudah dan harus mencapai maqam seorang hamba Allah yang hidup sederhana, amanah, jujur, rendah hati, tidak ujub – riya, ikhlas, taat dan tawakal.

Dua hal tersebut nampaknya ada hubungannya dengan makna ajaran yang terkandung dalam tembang “Gundul-Gundul Pacul”, yaitu seorang pemimpin yang ideal adalah pemimpin tanpa mahkota, ibarat kepala gundul tanpa rambut. Pemimpin yang tak peduli dengan pesona dunia demi mengemban amanah bagi alam dan kehidupan rakyatnya, yang dilambangkan dengan pacul sebagai alat pertanian,  serta kesejahteraan rakyatnya yang dilambangkan dengan bakul berisi nasi.

Pemimpin tidak boleh gembelengan, besar kepala – congkak lagi sombong. Karena kesombongan itu bagaikan mengambil selendang kebesaran Gusti Allah. Jika itu dilakukan, maka hilanglah keberkahan yang menaungi amanah kepemimpinan, sehingga   bakul terguling dan hakekat kesejahteraan tumpah tak berguna bagi rakyat. Mau bagaimana lagi jika nasi sudah tumpah tersebar di jalanan?

Di samping melambangkan rakyat kecil, pacul juga merupakan akronim dari papat kang ucul atau empat hal yang terlepas. Empat hal itu merupakan kunci utama untuk mencapai derajat ketaqwaan, oleh sebab itu harus dikendalikan dan tidak boleh lepas atau ucul. Ini sesuai dengan ajaran Al Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin (Menuju Mukmin Sejati).  Menurut beliau, guna mencapai maqam ini, kita harus menghayati serta mengamalkan tiga hal yaitu takut dengan sebenar-benarnya takut kepada Allah, bakti dan tunduk kepadaNya serta membersihkan hati dari segala dosa. Ketiganya itu bisa kita capai asalkan kita bisa menahan diri dari mengerjakan yang haram, dan juga bisa menahan diri dari mengerjakan perbuatan halal yang berlebih-lebihan.

Bagaimana bisa melakukan itu? Sang Pembela Akidah Islam ini mengajarkan agar kita memelihara dan mengendalikan: 
(1) mata, 
(2) telinga. 
(3) mulut dengan lidahnya, 
(4) hati,
(5) perut, dan 
(6) anggota-anggota tubuh lainnya. 

Dari enam hal itu yang paling menentukan adalah 5 yang pertama. Namun oleh sebagian ulama, mata dan telinga dianggap sebagai satu kesatuan, terutama jika menyangkut kepemimpinan, sebagaimana surat Al Anfaal ayat 22 yang menyatakan, “Sesungguhnya seburuk-buruk binatang yang melata pada sisi Allah, ialah orang yang pekak dan bisu (tentang kebenaran), mereka tidak mengerti”. Jika mata dan telinga dihitung sebagai kesatuan maka empat hal yang tidak boleh lepas liar tanpa kendali adalah 
(1) mata dan telinga, 
(2) mulut dengan lidahnya, 
(3) perut, 
(4) hati.

Mata, demikian Al Ghazali, adalah pangkal dari fitnah. Pandangan mata akan mempengaruhi hati. Karena itu Sayidina Ali berkata, “Orang yang tidak menguasai matanya, maka hatinya tidak ada harganya”. Demikian pula telinga, berguna untuk mendengarkan pembicaraan dalam kebaikan atau sebaliknya. Pengaruh pendengaran terhadap hati, bisa lebih buruk dari pengaruh makanan terhadap perut.

Mengenai mulut dengan lidahnya, adalah anggota tubuh yang paling binal lagi nakal, yang paling banyak menimbulkan keonaran dan kerusakan, sampai-sampai ulama Malik bin Dinar berpesan, “Jika engkau melihat hatimu membatu, badanmu lemah, rejekimu terhalang maka itu disebabkan oleh ucapanmu yang tidak karuan.

Akan halnya perut, adalah salah satu anggota yang paling payah diperbaiki, paling banyak ongkos dan bimbangnya serta paling besar mudharat dan pengaruhnya. Dari perut bergolak segala tenaga yang timbul pada anggota tubuh lainnya seperti kekuatan dan kelemahan, ketelitian dan kecerobohan. Makanan yang masuk ke perut merupakan benih amal, sedangkan minuman menjadi air yang menyirami benih amal. Makanan yang baik, akan menjadi benih yang baik, yang jika disiram dengan air yang baik akan tumbuh serta berbuah menjadi pohon dengan buah amalnya.

Tentang hati, adalah yang paling besar bahayanya, paling kuat pengaruhnya, paling lembut urusannya, paling payah memperbaikinya dan paling ruwet ihwalnya. Maka sebagaimana hadis yang sangat populer, “Sesungguhnya dalam jasad manusia  ada segumpal darah yang bila keadaannya baik, maka baik pula seluruh anggotanya. Namun bila rusak, rusak pula seluruh anggota badannya. Gumpalan itu adalah hati”. Karena itu Al Ghazali menasihati, kita harus menjaga hati yang merupakan pokok dari kehidupan manusia. “Kalau engkau merusak hati, maka seluruhnya akan rusak. Dan kalau engkau memperbaiki hati, maka seluruhnya akan baik. Sebab hati itu ibarat pohon. Sedangkan anggota tubuh lainnya hanya bagaikan dahan, cabang dan ranting”.

Selanjutnya ia mengajak kita meneladani kebiasaan para wali yang bisa disayang Allah setelah menjalani empat hal yakni 
(1) membiasakan perutnya lapar dengan berpuasa, 
(2) mengendalikan mulutnya dengan membiasakan berdiam diri tidak banyak omong, 
(3) menyendiri dari pergaulan yang tidak karuan dan 
(4) menahan mata mengurangi tidur malam untuk beribadah.

Itulah saudaraku, pemahaman dan makna filosofis dari tembang dolanan “Gundul – Gundul Pacul”, yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Sungguh saya merindukan suasana masa kecil, tatkala bermain bersama kawan-kawan dan adik-adik saya, bernyanyi riang gembira seraya memperagakan seseorang “menyunggi” bakul dan memegang pacul, berjalan  dengan sombong “gembelengan”. Semoga kita khususnya anda saudaraku para pembaca, dan lebih khusus lagi diri saya sendiri, bisa mengambil hikmah serta menghayati dan mengamalkan makna filosofis dari tembang dolanan ini. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar