“Soekarno itu memang pinter dan berkepribadian, tetapi belakangan kok suka kawin.”
Lagi-lagi soal Soekarno. Lagi-lagi soal Istri Soekarno. Sebagai seorang perempuan aku merasa tersentuh untuk mengangkat kembali kisah mereka yang telah mendampingi presiden RI pertama itu. Pengalaman mereka, kesan mereka, emosi mereka. Kali ini aku ingin mengangkat kisah Oetari, istri pertama Soekarno.
Nama lengkapnya adalah Netty Oetari, bukan Siti Oetari seperti banyak disebut banyak orang. Ia adalah anak sulung dari lima bersaudara keturunan H.O.S. Tjokroaminoto. Aku tidak begitu mengetahui penampakan Oetari di waktu muda karena sejauh ini belum kutemukan dokumentasinya. Harsono Tjokroaminoto dalam buku “Menelusuri Jejak Ayahku” (ANRI, 1983) juga tidak menyebut banyak mengenai penampilan Oetari. Ia hanya mengatakan bahwa Oetari sangat pandai bermain musik dan menyanyi. Selebihnya mengenai hubungan Oetari dengan Soekarno juga tidak banyak disebutkannya.
Film Soekarno (2013) bahkan sama sekali tidak menampilkan tokoh Oetari. Hanung Bramantyo, sang pembuat film, tampaknya lebih tertarik untuk mengangkat hubungan singkat Soekarno dengan seorang wanita Belanda alih-alih dengan Oetari yang menjadi istri pertamanya. Padahal walau bagaimanapun Oetari harus diakui sebagai istri resmi Soekarno yang pertama. Ia adalah pengikat hubungan baik antara Bung Karno dengan Tjokroaminoto.
Kisah cinta antara Oetari memang sekilas diceritakan Soekarno dalam buku otobiografinya “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia sebagaimana disampaikan kepada Cindy Adams” (Gunung Agung, 1966). Menurutnya, setelah Bu Tjokroaminoto wafat, Pak Tjok (Panggilan untuk HOS Tjokroaminoto) sangat sedih dibuatnya. Seorang saudara Pak Tjok kemudian mengusulkan Soekarno yang saat itu berusia 21 tahun untuk menghibur bapak kostnya dengan cara menikahi putrinya, Oetari yang baru berusia 16 tahun.
Aku mendatangi Pak Tjokro dan mengajukan lamaranku. Dia sangat gembira dan oleh karena akan menjadi menantu aku segera dipindahkan ke kamar yang lebih besar dengan perabot yang lebih banyak. Sampai di hari ia menutup mata, ia (Pak Tjok) tak perah mengetahui, bahwa aku mengusulkan perkawinan ini hanya karena aku sangat menghormatinya dan menaruh kasihan kepadanya.
Akhirnya dilaksanakanlah “Kawin Gantung”, suatu bentuk perkawinan sesuai adat Indonesia yang biasanya diterapkan pada pasangan yang belum cukup umur untuk melakukan hubungan suami-istri. Ada peristiwa menarik yang terjadi ketika Soekarno hendak melakukan akad nikah. Pertama, si penghulu menolak menikahkan mereka karena Soekarno ketika itu memakai dasi. Dia berkata :
“Anak muda, dasi adalah pakaian orang yang beragama Kristen. Dan tidak sesuai dengan kebiasaan kita dalam agama Islam”
Soekarno berkeras hati untuk mempertahankan dasi yang dikenakannya. Untunglah ada seorang di antara tamu yang bersedia menggantikan posisi si penghulu untuk menikahkan dirinya dengan Oetari. Saat itu terjadi peristiwa menarik lainnya.
Tepat sebelum aku menginjak ambang-pintu aku mengambil rokok untuk melakukan hembusan yang terakhir. Aku mengeluarkan korek api dari kantong, menggoreskan sebuah di sisi kotaknya untuk menyalakannya dan … sjsst … seluruh kotak itu menyala semua oleh jilatan api. Anak korek api yang ada di dalam kota itu menyala semua sampai yang terakhir. Karena jilatan api ini jariku terbakar. Kuanggap kejadian ini sebagai pertanda buruk dan memberikan kepadaku suatu perasaan ramalan yang gelap.
Seakan-akan pertanda buruk itu benar-benar terjadi. Perkawinan Soekarno-Oetari berlangsung cukup singkat karena Soekarno lebih terpikat hatinya oleh diri Inggit Garnasih, istri pemilik pondokannya di Bandung. Inggit memenuhi citra perempuan yang diidamkan Soekarno, sedangkan Oetari menurutnya :
“Ia bukan idamanku, oleh karena tidak ada tarikan lahir dan dalam kenyataan kami tak pernah saling mencintai. Sebagai teman seperjuangan, orang yang demikian tidak sanggup menemaniku pada waktu tenagaku terpusat pada penyelamatan dunia ini, sedang dia sementara itu main bola tangkap.”
Selanjutnya mantaplah keinginan Soekarno untuk menceraikan Oetari dan menikahi Inggit. Perceraian tersebut seperti diakui Soekarno tidak menimbulkan masalah pribadi antara dirinya dengan Pak Tjok. Dalam waktu singkat setelah perceraian tersebut, Utari menikahi Bachroensalam, yang dulunya juga merupakan teman Soekarno selama kost di kediaman Pak Tjok. Sepintas kita dapat menyimpulkan bahwa Soekarno melihat perceraiannya dengan Oetari sebagai hal natural, “Tidak menimbulkan luka baginya.” Benarkah demikian ? mari kita tinjau sudut pandang Oetari.
Berikut aku menulis kembali sebuah artikel yang pernah diterbitkan Harian Surabaya Buana tanggal 2 Februari 1986. Sebuah ulasan menarik tentang hubungan Soekarno dan Oetari yang belum banyak diketahui orang. Berikut tulisan lengkapnya.
Eyang Buyut, Isteri Pertama Bung Karno
“Seperti ibu Inggit, saya juga lebih baik mengalah dariapda memiliki suami memiliki istri lain.” ucap seorang wanita tua mengenang perpisahannya dengan pemuda Soekaro yang akhirnya menjadi Presiden RI pertama itu.
Oetari, wanita tua yang kini berusia 78 tahun, putri sulung tokoh nasional H.O.S. Tjokroaminoto. Ia punya sepercik andil dalam kehidupan Soekarno. Kenangan ini terjadi sekitar 60 tahun yang lalu (*sejak tulisan ini diterbitkan tahun 1986). Bermula dari tempat tinggal mereka yang menjadi tempat kost sepuluh pemuda sekolah. Saat itu gadis yang panggilan sehari-harinya Lok ini masih berusia 1 tahun , sehingga ia belum paham betul arti status nikah gantung yang mengikatnya dengan Soekarno.
Lok menyukai Soekarno, karena dilihatnya Soekarno, orangnya periang, supel, dan pandai berpidato. Tetapi waktu itu perasaanya terhadap Soekarno masih seperti perasaanya terhadap para pemuda lain yang kost di rumahnya, walaupun antara dia dan Soekarno ada ikatan.
Selain sepuluh orang pelajar yang kost di rumah Jl. Plampitan 8 Surabaya itu, juga terdapat seorang sepupu Oetari bernama Sigit Bachroensalam. Dengan Sigit ini Lok pun akrab dan biasa bergaul seperti saudara sendiri. Keakraban ini ternyata mengundang kecemburuan Soekarno. Sampai-sampai ketika akan berangkat ke Bandung untuk melanjutkan studinya di ITB yang dahulu masih bernama Technische Hogeschool (THS), Soekarno berpesan kepada Oetari agar tidak bergaul terlalu akrab dengan Sigit. Keberangkatan Soekarno ini hanya sekitar dua bulan setelah mereka diikat status nikah gantung.
Selang beberapa waktu, Oetari sempat diajak oleh Soekarno tinggal bersama selama sebulan di pemondokannya di Bandung. Rumah pemondokannya ini merupakan tempat tinggal H. Sanusi dan istrinya, Inggit Garnasih. Selama tinggal di sini, Oetari melihat betapa intim dan akrabnya Soekarno dengan istri pemilik rumah tempat tinggal kostnya itu. Bahkan sering didapatinya Soekarno dan Inggit bergurau sampailarut malam di beranda justru Haji Sanusi sudah tidur.
Kenyataan yang dilihat oleh Oetari selama berada di Bandung itu membuat gundah hatinya. Mungkin perasaanya lebih cemburu dari kecemburuan Soekarno terhadap Sigit ketika masih di Surabaya. Tetapi semua kenyataan ini hanya berwujud pengaduannya pada ayahnya. Maka setelah mendengar semua ini Oetari diceraikan dari Sokearno oleh H.O.S. Tjokroaminoto.
Ibu Oetari kini (*saat itu) tinggal di Jl, Ngagel Jaya 93 Surabaya. Kesehatannya tampak masih baik, hanya saja kakinya tidak lagi sekuat dulu. Kalau berjalan harus berpegangan pada dinding. Tetapi jika hanya untuk menceritakan beberapa kepingan masa lalunya ia sanggup bertutur jelas.
Foto Soekarno
Rumah yang ditempati di Jl. Ngagel Jaya sejak 1964 ini adalah pemberian pemerintah sebagai hadiah terhadap almarhum ayahnya. Rumah itu terletak di atas tanah seluas 20 X 25 M. Pada dinding depannya (terlihat dari jalan raya) sebuah prasasti menempel bertanda tangan Presiden Soekarno. Tapi itu bukan berarti secara pribadi rumah itu dihadiahkan Soekarno pada oetari. Pemberian Soekarno secara pribadi hanyalah sebuah foto presiden yang ditandatanganinya pada tahun 1947. Foto itu ditunjukan kepadanya dan Sigit yang telah menjadi suaminya sejak 24 Maret 1924. Dengan Sigit inilah akhirnya Oetari menikah setelah sekitar setahun bercerai dari Soekarno.
Sejak perpisahannya dengan Bung Karno, untuk pertama kalinya Oetari bertemu kembali ketika Soekarno baru keluar dari penjara Sukamiskin. Waktu itu Oetari didampingi oleh suaminya, Sigit Bachroensalam. Sedang Soekarno sudah resmi jadi suami Inggit. Pada pertemuan yang penuh haru unu mereka bertiga saling berangkulan. Bagi Oetari, keharuan tidak saja disebabkan mereka merupakan sahabat lama, tetapi karena Soekarno baginya sama-sekali sudah lain keadaanya. Soekarno yang dulunya tampak klinis, bersih, dan segar kini kelihatannya sudah agak kurus dan kehitaman, sehingga terbayang dalam benak etari betapa beratnya penderitaan Soekarno dalam penjara itu.
Perjumpaan Terakhir
Perjalanan hidup Oetari bersama suaminya Sigit yang pernah dicemburui Soekarno selanjutnya berjalan langgeng. Sejak pernikahan di Semarang mereka bekerja di Pabrik Gula, kemudian pindah ke Cipanas dan suaminya berganti profesi menjadi pegawai kehutanan. Dari Cipanas mereka hijrah ke Madiun, Sigit bekerja di kantor Karasidenan.
Ketika terjadi pemberontakan berdarah PKI yang dipimpin Muso tahun 1948, mereka ketakutan. Oetari dan Sigit sama sekali tak menyangka kalau Muso yang juga pernah tinggal bersama di masa masih pelajar dulu; akhirnya mengkhianati sendiri negara yang telah diperjuangkannya. Ketakutan Oetari dan Sigit karena Sigit bekerja di kantor Karasidenan, yang berarti adalah orang pemerintah. Namun mereka masih dilindungi Tuhan, dan tetap bahagia dengan tujuh putra, 24 cucu.
Sigit dipanggil oleh Yang Kuasa tahun 1981. Kehidupan berjalan terus, setelah pertemuan keluarga Sigit dengan Soekarno saat keluar dari penjara Soekamiskin tersebut, mereka tak pernah lagi saling bertemu. Walaupun begitu berita tentang Soekarno yang telah menjadi Presiden RI selalu diikuti oleh Oetari dan Sigit.
Pernah dalam suatu kesempatan tahun 60-an, Oetari mendapat undangan untuk mengikuti upacara 17 Agustus di Istana Merdeka melalui adiknya, Harsono Tkoroaminoto. Dari rumah adiknya di Jakarta, mereka pagi-pagi berangkat menuju Istana. Acara demi acara diikuti oleh suami istri ini dengan saksama. Begitu melihat Bung Karno, timbul hasrat untuk berjabat tangan memberikan selamat. Tetapi hasrat ini sampai sekarang tak pernah tercapai karena seusai upacara, Soekarno meninggalkan tempat upacara diiringi ajudan dan beberapa tamu agung lainnya. Mereka merasa terlalu kecil untuk memenuhi Soekarno dalam suasana seperti itu.
“Setelah itu tak pernah lagi saya melihatnya langsung,” ujar Oetari yang kini sudah bersebutan Eyang Buyut dari anak buyutnya. “Bahkan ke makamnya di Blitar saja belum pernah saya lakukan, soalnya sudah tak kuat lagi bepergian jauh,” tambahnya.
“Soekarno itu memang pintar dan berkepribadian, tetapi belakangan kok suka kawin,” katanya menutup penuturannya.
*sumber dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar